•| Chapter 11 |•

Start from the beginning
                                        

Hujan menepuk bahu Naura prihatin. "Itu karena lo udah terbiasa."

"Ini acaranya kok nggak mulai-mulai, sih? Keburu gue mateng siap santap, nih," gerutu Riana sambil menyeka keringatnya di kening.

"Kayaknya pemilik sekolah kita sedang terjebak macet," sahut Naura pengertian. Padahal dia juga kepanasan dan takut kulitnya hitam.

Akhirnya acara dimulai. Pemilik sekolah berdiri di atas podium dengan gagah.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, selamat pagi anak-anak semua," salam dan sapa Pak Darmawan lontarkan.

"Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh." Kompak seluruh siswa siswi, kepala sekolah, staf dan dewan guru membalas.

"Sebelumnya ada yang sudah mengenal saya?" tanya Pak Darmawan iseng.

"SUDAHHH!!!" seru siswa siswi Aregas menjawab.

"Siapa coba?"

"PAK DARMAWANNN!!!"

"Terharu saya kalian tau nama saya," balas Pak Darmawan sambil mengusap air mata palsunya membuat seluruh siswa tertawa.

"Sebelumnya terima kasih kepada kepala sekolah kita—Pak Dika," ucap Pak Darmawan seraya menganggukan kepalanya sekali ke arah kepala sekolah. "Yang sudah membantu mengembangkan sekolah ini menjadi lebih baik. Sampai saya tidak mengira akan banyak sekali siswa siswi yang mendaftar dan masuk ke dalam sekolah ini. Bahkan sudah menjadi incaran anak SMP kelas akhir."

Pak Dika menganggukan kepalanya dan tersenyum. "Terima kasih kembali."

"Dan terima kasih kepada guru-guru dan staf yang sudah membantu anak-anak. Karena mereka bukan anak saya. Anak saya yang paling kecil di rumah, kalau denger saya ada anak lain nanti dia nangis ngejer." Pak Darmawan menghela napas seolah sedang menanggung beban berat.

"Yang sudah membuat lulusan dari sekolah ini bisa masuk ke universitas-universitas yang mereka inginkan dan bekerja di tempat yang selama ini mereka cita-citakan," lanjut Pak Darmawan.

"Terus anak pertama bapak mana?!" teriak salah satu siswa laki-laki kelas dua belas yang sering membuat onar, siapa lagi kalau bukan Natha anggota inti Black Dragon. Suaranya terdengar sampai ke telinga Pak Darmawan dan siswa siswi lainnya di lapangan. Termasuk guru-guru yang berdiri di hadapan para siswa-siswi.

Guru-guru di sana langsung melotot, mengenali siswa laki-laki yang sudah menjadi langganan ruang BK. Namun, mereka tidak ada yang berani menegur mendekati siswa tersebut karena menghargai keberadaan pemiliki sekolah yang tampak tidak masalah akan hal itu.

"Anak pertama saya laki-laki dan sudah kuliah. Saya tidak bisa menyebutkan namanya karena nanti dia marah. Katanya nanti ada nomor nyasar yang tiba-tiba minta save back dan DM Instagram yang minta akunnya di follback," jawab Pak Darmawan yang langsung di sambut gelak tawa siswa siswi semua.

"Mungkin sudah cukup saya ngomong di sini. Sinar matahari pagi pasti membuat kalian kepanasan. Apalagi perempuan yang belum sempet pakai blockscreen atau creensuns?"

"Sunscreen!"

"Sunscreen! Sunscreen!"

"Sunscren, Pak! Sunscren!"

"Woylah blockscreen. Bengek gue dengernya."

"Aduh, ngakak!" Naura memukul-mukul lengan Hujan sambil tertawa.

"Ngakak sih ngakak, Ra. Tapi, nggak usah sambil mukul juga dong!" seru Hujan protes.

Pak Darmawan tertawa bersama siswa siswi. Candaannya mampu membuat suasana cair karena mereka mengira pemilik sekolah memiliki kepribadian yang serius dan sulit untuk tertawa. Tenyata kenyataan itu tidak terbukti mengingat benar apa kata orang. Menilai orang jangan dari covernya.

Dangerous NerdWhere stories live. Discover now