Extra Part

4.6K 151 4
                                    

Keringat terus meluncur dari pelipis dan kuseka dengan jari-jari tanganku. Aku tidak bisa berhenti sampai disini, jalanku tinggal beberapa langkah lagi. Aku terus mempercepat langkahku dengan sedikit berlari. Tak peduli dengan terik matahari yang membakar kulitku ataupun dengan tatapan aneh dari beberapa orang yang  menjumpaiku. Langkahku terhenti saat sebuah tangan melambai-lambai kearahku.

“bunda lama sekali sih, keburu masuk nih” omel Aldi. Putra tunggalku. Rinaldi melupakan buku tugasnya , dan aku langsung berlari kerumah saat Aldi sadar bukunya ketinggalan. Peluh yang sedari tadi membasahi tubuhku tak kuhiraukan, dan ini respon yang kudapat? Kadang anak melihat usaha orangtua hanya dengan sebelah mata.

“kamu itu udah diambilin ngomel terus nggak lihat apa bunda keringetan gini?” seketika aku langsung badmod mendengar protes Aldi tanpa melihat perjuanganku.

“makasih bunda, maaf ya” Aldi memelukku kemudian menyuruhku menunduk dan mencium pipiku tanpa rasa malu. Benar-benar kelakuan ajaibnya selalu membuat amarahku lenyap. Mungkin perilaku itu menurun dari ayahnya. Dari ketiga anakku Aldi lah yang paling penurut. Biasanya anak laki-laki lah yang terkenal dengan sifat pembangkangnya. Tapi berbeda dengan Aldi, sifat aslinya memang penurut ditambah dengan didikan yang keras dari Willy. Aldi sedikit lebih keras dididik daripada kedua kakaknya yang menyebalkan.

“yasudah sana masuk , bunda pulang ya. Belajar yang bener” aku mengusap puncak kepala Aldi penuh sayang. Tahun ini, anakku menginjak kelas 3 SD. Sha kelas 3 SMP dan Naily kelas 6 SD. Kebetulan anak itu juga berada disekolah yang sama dengan Aldi. Tapi dia lebih memilih berangkat dengan temannya daripada dengan adiknya sendiri. Aku tidak mempermasalahkannya, karena Aldi juga tidak masalah dengan hal itu.

Tangan Aldi terus melambai-lambai mengantar kepergianku, seculas senyuman terukir di wajahku. Aku terlalu capek untuk berlari lagi kerumah. Meski aku atlit marathon tapi itu dulu, sekarang aku sudah pensiun dan tak kuat lagi lari jarak jauh. Aku memutuskan naik ojek yang kebetulan tak jauh dari sekolah Aldi.

“bang ojek ya ke komplek J” abang itu menyodorkan helm dan kupasangkan pada kepalaku. Untung saja ada abang ojek yang menjadi pahlawanku jika tidak aku pasti sudah mandi keringat lagi.

Aku memberikan selembar uang lima puluh ribuan kemudian masuk dalam rumah. Aku menghempaskan pantat cantikku di sofa empuk itu dengan keringat yang masih membanjiri tubuhku. Bau menyengat tercium dari ketiakku. Aku meringis dengan kebodohanku. Sudah tahu ketiakku kecut kenapa aku menciumnya. Aku memejamkan mata merilexkan seluruh tubuhku, hingga sebuah suara membuatku membuka mata.

“ehem..” aku menoleh ke sumber suara dan mendapati willy sedang bersedekap. Matanya menatapku lekat penuh amarah. Aku tidak tahu apa kesalahan yang sudah kuperbuat hingga dia semarah ini. Bukankah Willy juga harus pergi bekerja?

“ada apa kamu menatapku seperti itu seolah aku pelaku perampokan bank?” sebelah alisku terangkat melihat Willy yang menatapku seolah ingin mengulitiku hidup-hidup.

“apa kamu tidak merasa bersalah?” Willy membalas pertanyaanku dengan pertanyaan kembali.

“emangnya aku ada salah apa sih? Pagi-pagi udah ngajak ribut”

“jadi kamu tidak merasa bersalah sama sekali?”

“ya ampun , aku bukan cenayang yang bisa mengetahui isi otakmu. Tinggal bilang aja ribet”

“siapa tadi yang ngantar kamu? Pake pegangan mesra banget” hah? Gubrak! Seketika aku cengo. Jadi gara-gara tukang ojek Willy jadi uring-uringan begini?

“apa kamu masih cemburu juga kalau aku bilang tadi itu tukang ojek?” Willy menganggukkan kepalanya. Aku mencibir, kuhela nafasku panjang. Mempunyai suami overprotec seperti Willy aku hanya bisa elus dada bersabar.

My beloved Cousin (terusan)Where stories live. Discover now