10 ; Tekanan

1.8K 308 31
                                    

"DENGAN KATA LAIN, kamu merasa membutuhkan distraksi ekstrem," ungkap Lydia. Nares masih begitu ingat dengan kalimat yang terucap dari mulut sosok itu. "Emosi negatif kamu, entah itu marah, takut, khawatir, atau cemas, semuanya terasa mengonsumsi kamu. Akhirnya, kamu susah berkonsentrasi, terkadang sampai kelepasan kontrol atas perilakumu sendiri dan malah meluapkannya ke benda atau orang lain. Jadi, ini yang membuat kamu berpikir kalau pakai sabu itu sangat membantu?"

Tiap kata yang dituturkan, membekas kuat di kepala. Nares tak bisa melupakannya begitu saja.

"Sabu atau obat narkotika seolah membantu kamu karena efek awal dari obat itu memang sangat intens dan mencolok. Sehabis nyabu, kamu pasti langsung merasa lebih berenergi, waspada, sama dapat euforia, kan? Nge-fly?" lanjut Lydia. "Berapa lama efek itu menetap? Kalau saya tebak, bisa sampai setengah hari atau malah seharian, soalnya kamu pakainya disuntik sama dihisap. Dua cara itu emang bikin efek obatnya lebih bertahan lama. Tapi, setelah crash-nya ini? Apa efek lainnya? Memangnya kamu nggak terganggu?"

Lydia memberi penjelasan yang selama ini diabaikan atau bahkan diremehkan Nares.

"Kelelahan, depresi, sampai bisa bikin mood jelek sepanjang hari. Inilah kenapa obat-obat keras semacam ini nggak digunakan dengan bebas. Penggunaan jangka panjang bisa merusak tubuh kamu dan bahkan hidup kamu. Emosi negatif yang kamu rasakan, apakah akhirnya bisa diatasi?" Lydia menatap Nares dengan sorot yang cukup tegas. "Enggak, kan? Obat itu memperburuk. Kamu jadi makin gelisah, susah tidur, sampai halusinasi. Emosi kamu makin meledak-ledak. Obat itu nggak menahan kamu buat berhenti jadi gila, tapi malah nambah kamu merasa makin gila."

Nares ingat, dia hanya mendengar Lydia sekadarnya saja, tak begitu memperhatikan, atau mencoba menyerap informasi dalam-dalam. Namun, lihatlah dia sekarang. Ucapan sang terapis masih terngiang.

"Panik dan cemas yang kamu rasakan, perasaan seolah kamu bakal kelepasan kontrol, duniamu mau hancur, dan bahkan merasa seperti dikejar-kejar malapetaka itu nggak akan hilang lewat efek jangka pendek obat ini. Solusinya bukan cari suntikan dopamin dari obat-obat ini, tapi dengan mengobati gangguan psikis kamu supaya kamu lebih bisa mengelola emosi. Dengan begitu, kamu nggak ketergantungan obat dan dihantui efek jangka panjang kayak gini. Saya coba tanya lagi, kamu masih nggak mau meninggalkan obat-obat itu?"

Kaca kamar mandi itu telah retak dan pecah ketika Nares mulai menyadari kondisi sekitar.

Saat ini, dia sedang berada di kamar mandi seorang diri, tanpa sorot penghakiman yang akan menusuknya, tanpa antipati dan kebencian yang akan makin membakarnya. Takkan ada orang yang memukulnya dengan mendadak, menusuknya dengan pisau, atau menabrakkan mobil ke arahnya.

Tidak ada yang ingin mempermalukannya ataupun mencoba untuk menyakitinya.

Dia aman dan dia sendiri. Tidak ada ancaman yang sedang menghalangi.

Perih di buku-buku jarinya berhasil menariknya dari bising di kepala, berhasil menghilangkan suara-suara buruk yang membisiki bahwa dia sedang berada dalam bahaya, bahwa dia akan dipermalukan, bahwa si kakak sialan akan menghabisinya karena pria itu sangat membencinya.

Dengung suara mengganggu itu sudah mulai pudar seiring dengan sakit yang merambati telapak tangan. Cekikan tak kasatmata yang sempat menyulitkannya bernapas juga mulai menghilang. Serangan panik yang amat mendadak dan menjengkelkan itu pada akhirnya reda, meninggalkan kekacauan yang sudah pasti akan membuatnya kembali dilabeli sebagai orang gila.

Bagaimana tidak, siapa pula orang normal yang tanpa provokasi apa pun memutuskan untuk memukul sebuah kaca hingga benda itu pecah dengan menyedihkan?

Keadaan semacam inilah yang membuatnya yakin kalau ucapan Lydia salah.

Broken GlassesWhere stories live. Discover now