9 ; Harapan

2.4K 376 47
                                    

ALARM DI KEPALA Wilona menyuruhnya untuk segera enyah supaya dia tidak perlu terseret ke dalam masalah.

Reaksi fisiknya, yang kian mematung disertai detak jantung yang berdentum, ketika mendengar suara pecahan kaca juga menuntutnya untuk segera pergi. Kisah di masa lalu membuatnya sensitif terhadap berbagai indikasi kekerasan. Bayang mengenai tindakan kasar mantan suaminya kembali membanjiri benak tiap kali dia mendapat bentakan, pukulan, ataupun suara nyaring lain yang berasosiasi dengan kekerasan.

Wilona masih sering terngiang dengan seluruh kejadian traumatis yang mengisi rumah tangganya. Dia belum sepenuhnya sembuh. Keadaan sekarang bukanlah pengecualian.

Dia berdiri kaku di depan pintu. Tubuhnya hampir gemetar. Jantungnya berdegup kencang, dengan hela napas yang tersekat akibat kepanikan mendadak yang mulai membanjiri kepala. Hanya dengan satu pemicu itu, pikirannya telah melalang buana, menciptakan sebuah skenario buruk yang akan langsung mengancam keselamatannya.

Dia ingat, dulu Jonathan selalu memukul meja ataupun menendang kursi dan benda-benda lain tiap kali dia marah. Suara gebrakan itu teramat nyaring dan menyakiti telinga. Bentakan yang didapat Wilona juga makin mencekam dadanya, menyulitkannya untuk bernapas normal. Dia hanya dapat mengerang sakit ketika Jonathan mulai menjambak kasar rambutnya hingga memberikan tamparan.

Tahun-tahun gelap itu sudah berlalu.

Namun, gumpalan memori atas kejadian itu masih teramat segar. Ingatan-ingatan itu langsung membanjiri kepala tiap kali dia menghadapi pemicu semacam ini.

Sisi rasionalnya menjadi tumpul seketika. Yang memenuhi benak Wilona hanyalah skenario buruk yang akan membuat seseorang kembali menyakitinya, meski situasi dan keadaan yang dihadapi sangat berbeda, meski orang baru ini bukanlah Jonathan dan mereka takkan menyakitinya seperti yang dilakukan si mantan suami.

Hal yang sama berlaku untuk Nares.

Pria itu bukanlah mantan suaminya.

Hanya saja, Wilona tak bisa membungkam isi pikiran yang menyuarakan bahwa Nares berpotensi besar untuk menjadi seseorang seperti Jonathan. Apalagi dengan perilakunya yang sekarang.

Wilona masih berdiri di depan pintu.

Pecahan kaca lain terdengar untuk kedua kali, lalu ketiga kali.

Detik itu, Wilona menarik napas dalam. Dia mengelola hela napasnya selama beberapa saat.

Ketika cengkeraman kuat di dadanya mulai mengendur, barulah dia mengangkat tangan untuk mengetuk pintu.

Dia turut memanggil nama Nares.

Suaranya rendah, tetapi dia yakin Nares akan mendengarnya. Bagaimanapun juga, tempat ini sangatlah sepi. Tidak ada lagi orang yang akan membuat bising selain mereka.

Saat ucapannya tak mendapat balasan, Wilona kembali angkat bicara.

"Aku masuk semisal kamu masih nggak bersedia keluar." Wilona mencoba menunggu respons dari dalam.

Selang beberapa menit, dia mengembuskan napas pendek dan memutar kenop pintu kamar mandi. Sepi yang mengisi seolah menandakan ketiadaan orang. Namun, Wilona tahu hal tersebut tidaklah benar. Apalagi setelah dia melihat keberadaan Nares dengan kedua matanya sendiri.

Nareswara, pria yang berstatus sebagai calon suami-nya.

Lelaki itu sedang berdiri di depan wastafel. Telapak tangannya kentara sekali terluka. Buku-buku jarinya berdarah, warna merahnya menetes melalui wastafel putih. Di sisi wastafel itu, sebuah cermin panjang yang membentang dan melengkapi wastafel-wastafel lain telah pecah. Retakannya merambat hingga ke tengah cermin, memperlihatkan kerusakan yang tentu saja tidak sedikit.

Broken GlassesWhere stories live. Discover now