4 ; Solusi

1.8K 314 43
                                    

TIDAK ADA KEHANGATAN yang menyambut ketika sepasang ayah dan anak itu kembali bertemu. Selama masa rehabilitasi, Nares memang tak sepenuhnya sendiri. Terkadang dia masih dikunjungi oleh kedua orang tuanya, meski frekuensi kunjungan tersebut sangatlah jarang. Dalam rentang waktu satu tahun, Hardana hanya sempat mengunjungi Nares tiga kali, sedangkan Dianti—ibunya—enam kali.

Durasi pertemuan juga tidak begitu lama. Sang ayah datang hanya untuk menanyakan hal-hal trivial yang menurut Nares amat tidak penting. Ibunya juga demikian. Alih-alih berfokus pada keadaan Nares, sang ibu bahkan lebih senang bercerita mengenai kehidupannya sendiri, memberi tahu Nares segala rumor dalam keluarga besar yang sebenarnya tidak Nares pedulikan.

Menghabiskan waktu di tempat rehabilitasi sudah cukup menguras energi. Dia tidak mengharapkan kehadiran kedua orang tua yang dianggap sama sekali tidak membantu.

Lydia sempat memberi tahu bahwa peran kedua orang tua amat diperlukan dalam proses pemulihannya. Ucapan Lydia terdengar menggelikan. Dia langsung menolak mentah-mentah anjuran mengenai konseling keluarga yang sempat ditawarkan sang terapis. Konsep konseling keluarga terdengar bagaikan omong kosong. Hanya memikirkannya saja dia sudah mual.

Bagaimana bisa Lydia memintanya duduk berdiskusi bersama ayah, ibu, dan juga kakak sialannya itu?

Dia lebih memilih mati dibandingkan harus berada di ruangan yang sama bersama mereka.

Ransel berisi pakaian kembali tersampir di pundak. Nares beranjak ke dalam rumah tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada Aditya. Pria yang bekerja sebagai asisten pribadi sang kakak terlihat kesal saat melihat Nares yang langsung melengos pergi. Nares sama sekali tidak peduli dengan reaksi itu. Dia memasuki rumah dan langsung mendapati sang ayah yang sedang duduk santai di samping halaman.

Hardana Caturangga sedang menikmati kopi sorenya. Dia tengah membaca-baca berita melalui tablet ketika melihat kedatangan si bungsu.

Sorot matanya tampak biasa saja saat melihat Nares. Dia memindai sekilas penampilan anaknya. Tanpa berkomentar apa pun, dia kembali menyesap minuman dan menyuruh Nares ikut duduk bersamanya.

Perilaku Hardana masih sama seperti biasa. Dia memperlakukan Nares dengan normal, seolah anaknya ini tidak pernah terlibat kasus penyalahgunaan narkoba, seolah dia tidak baru saja keluar dari panti rehabilitasi yang mengisolasinya selama satu tahun terakhir ini.

Hardana selalu begitu. Dia tidak pernah membahas kekacauan yang diperbuat anak bungsunya. Dia tidak pernah menganggap Nares bersalah, seolah semua masalah itu memang tidak pernah terjadi, seolah perilaku buruk Nares hanyalah angin lalu.

Semuanya baik-baik saja—Hardana seakan ingin menyuarakan itu pada Nares.

Nares sudah hafal dengan tabiat ayahnya. Dia sama sekali tidak terkejut ketika sang ayah masih memperlihatkan reaksi yang sama.

Tas ransel diletakkan di dekat kursi. Nares ikut duduk di seberang Hardana.

"Papa mau bahas apa?" tembak Nares langsung, tidak ingin ayahnya berbasa-basi dan menanyakan hal-hal tidak penting lain.

Hardana meletakkan tablet ke atas meja. Dia duduk menghadap Nares setelah kembali mencicip minumannya.

"Kamu kurusan," komentar pria itu, tidak membalas pertanyaan sang anak. "Tempat rehab nggak kasih kamu makan?"

Nares memutar mata ketika mendengarnya.

Sungguh, siapa yang peduli dengan berat badan ketika dia harus menghadapi mimpi buruk yang menyulitkannya tidur hingga berhari-hari?

"Rehabilitasi harusnya cuma tiga bulan," tandas Nares saat itu. "Kenapa aku jadi harus tinggal di sana sampai setahun?"

"Buat memperlihatkan kalau kamu memang serius untuk sembuh," jawab Hardana. "Orang-orang nggak akan yakin kamu sudah bersih kalau kamu tinggal di sana hanya tiga bulan."

Broken GlassesOù les histoires vivent. Découvrez maintenant