1 ; Jerat

2.8K 417 56
                                    

BENTAKAN SESEORANG MEMBUAT telinganya pengang, begitu pula bantingan pintu yang beberapa saat lalu memecah kesenyapan.

Kehadiran seseorang tiba-tiba mengirimkan remang tidak menyenangkan. Tiap langkah yang diambil sosok itu berhasil mendorongnya mundur, menjauh, demi menghindari ancaman.

Mata tajam yang menatap nyalang seolah hendak kembali menikam.

Wilona merasakan kaku di tubuhnya. Respons yang tak dapat dikendalikan mulai membuatnya mematung akibat rasa takut yang menggerogoti. Dia memejamkan mata dan memalingkan wajah saat teriakan lain membuat jantungnya berdentum-dentum ngilu, nyeri oleh tiap bentakan yang datang.

"Sebenarnya kamu udah linglung atau emang bodoh?! Udah berkali-kali aku bilang buat nggak perlu bawa-bawa orang lain ke dalam masalah rumah kita, tapi kamu mulai mengadukan ini semua ke Mama? Biar apa? Biar ibuku bisa menyalahkan anaknya sendiri? Kamu mau ikut merusak hubunganku sama orang tuaku?!"

Wilona berusaha untuk tetap berdiri tegak. Namun, kedua kakinya lemas. Dia juga tidak dapat mengabaikan cengkeraman menyakitkan dalam dada yang membuatnya sulit untuk bernapas normal.

Ada ganjalan yang mengganggu di tenggorokan, menyulitkannya untuk membalas dengan benar.

"Aku nggak bilang apa pun sama Ibu. I never told her about—"

Sengatan nyeri tiba-tiba mendarat di pipinya.

Tamparan kasar berhasil memotong kalimat yang hendak diucapkan.

Wilona belum dapat memproses kejadian tersebut saat tubuhnya didorong paksa ke belakang. Punggungnya menabrak dinding, menciptakan rasa nyeri tak terperi yang membuatnya meringis kesakitan.

"Kamu pikir aku bego?" tandas pria yang menjulang di depannya. Tubuh masif mengungkung tubuh Wilona. Kemarahan yang terpancar di matanya sangat kentara, amat menusuk dan seolah menyuarakan kebencian yang luar biasa. "I knew your game for a long time. Kamu selalu suka melibatkan orang lain ke dalam masalah kita dan bikin semua orang repot!"

Wilona mengatupkan mulut rapat-rapat. Bibirnya bergetar. Matanya panas oleh desakan air mata.

"Aku bicara jujur, Jo! Aku nggak pernah bohong!"

"Then why the fuck she asked me about your fucking condition?! Dia kedengeran seperti lagi menuduh aku dan terus menyalahkan aku!"

Wilona hendak membuka mulut untuk bicara ketika pria itu mencengkeram rahangnya dengan satu tangan. Dia menarik kepala Wilona, memaksanya untuk mendongak.

"Kamu tau apa yang bakal terjadi kalau orang tuaku terlibat masalah kita ini?" ungkap sosok itu dengan suara pelan, tetapi tetap menyiratkan ancaman. "Mereka punya riwayat serangan jantung. Dengan ngadu dan merengek ke mereka, kamu cuma bakal nambah beban mereka. Kamu mau bunuh orang tua aku?"

Wilona menatapnya dengan sorot tidak percaya. Pandangannya nanar, tidak menyangka dengan perkataan yang baru saja dilemparkan padanya.

"Kamu nuduh aku?" timpalnya seketika, nada suaranya gemetar.

"Kelihatannya memang seperti itu, kan?" ujar sosok tersebut. "Kamu tanya-tanya Mama tentang kegiatanku, seakan kamu nggak percaya sama omongan suamimu sendiri. Gimana bisa aku nggak curiga?"

Saat mendengar ucapan sang pria, Wilona langsung menutup mulut, enggan berbicara.

Sosok di hadapannya mendengkus. Dia merenggangkan cengkeraman di rahang Wilona.

"Seperti yang kuperkirakan. Kamu masih merasa aku selingkuh dan bukan sebaliknya?"

Tubuh masif sang pria masih mengungkungnya. Wilona tak punya akses untuk beranjak. Dia makin terpojok ketika telapak tangan sang lelaki menahan pundaknya.

Broken GlassesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang