Bab 47

286 31 7
                                    

Happy Reading Guys
.
.
.
.
.



"As, kita udah tunangan seharusnya kamu jauhin dia! Atau kamu mau aku bongkar selain kita udah bertunangan, kamu juga sempat jadiin Kaycia bahan taruhan sama anak-anak black lion?! Ah, jangan-jangan sampai saat ini kamu masih jadiin si cupu taruhan, iya kan?"

PRANG!!

Suara yang menggema dari sekotak bekal nasi itu menciptakan keheningan sekitar, mengalihkan dua orang yang sempat beradu mulut.

Seperti mimpi buruk di siang bolong, seperti itulah yang dirasakan Kaycia. Seluruh tubuhnya seolah melemas, kejadian ini begitu tiba-tiba. Bahkan senyum dibibirnya sirna dalam sekejap mata.

Tidak Kaycia saja, Asten pun sama halnya terkejut. Sungguh, jantungnya seakan berhenti berdetak.

Bodohnya ia tidak bisa berkata apa-apa, mulutnya terkunci rapat, dan tubuhnya menegang.

Tolong, jangan sampai Kaycia mendengar semuanya.

Tapi, kemungkinan-kemungkinan yang Asten harapkan tidak berpihak padanya. Kaycia, sudah mendengar semuanya.

Bibir Kaycia bergetar, kemudian berucap, "jadi, selama ini Kak Asten bohong?" air matanya mengalir tak tertahankan.

"Ternyata memang benar semua ini permainan kak Asten? Lalu, semua sikap perhatian kak Asten? Dan apa cinta itu juga sebenarnya gak ada?"

"Apa begitu bencinya kak Asten sama aku?"

Asten menggeleng cepat, "bukan seperti itu, Cia ..."

"APA SALAH AKU, KAK?! APA KAK ASTEN MAU LIAT AKU HANCUR? KALAU ITU YANG KAK ASTEN MAU ... SEKARANG KAK ASTEN BERHASIL!!" teriak Kaycia, kemudian bertepuk tangan.

"KAK ASTEN BERHASIL BUAT AKU HANCUR!!" isaknya, meremat kuat dadanya yang begitu menyakitkan.

Ia tidak peduli dengan teman-teman sekolahnya yang mulai berdatangan, mengerumuni dirinya.

Dengan langkah cepat, Asten memeluk tubuh Kaycia yang bergetar hebat karena Isak tangisnya, meskipun Kaycia memberontak berusaha melepaskan diri. Namun, Asten lebih mengeratkan pelukannya.

"Jangan nangis ... Tolong jangan nangis." ucap Asten. Sungguh menyakitkan melihat terpukulnya Kaycia saat ini.

"LEPAS!!" sentak Kaycia sampai pelukan itu benar-benar terlepas.

"Aku pernah berpikir, kalau bertemu kak Asten adalah takdir yang baik. Tapi, sekarang aku menyesal. Menyesal karena mengenal kak Asten, dan--- cinta bodoh ini! Andaikan dulu aku mendengar ucapan kak Karl buat keluar dari sekolah ini, mungkin saat ini kak Karl masih ada dan aku gak pernah ketemu cowok sebrengsek kak Asten!!" bibirnya bergetar setiap tutur kata yang keluar dari bibirnya.

Mendengar itu, tangan Asten mengepal kuat, dadanya bergemuruh hebat. Wanita yang dicintainya ternyata menyesal bertemu dengannya.

Tapi, sepertinya Kaycia memang pantas mengucapkan itu pada dirinya yang brengsek. Pikir Asten.

"Mulai detik ini, jangan berpura-pura lagi dan jangan mempermainkan aku. Karena aku udah hancur seperti yang kak Asten mau."

"Tolong ... Jangan muncul dihadapanku lagi. Terima kasih atas permainannya,"

"sangat— menyenangkan." perlahan, Kaycia memundurkan langkahnya. Memecah kerumunan dan hilang begitu saja.

Asten ingin mengejarnya, tapi ditahan oleh Lidya.

"Kalau kamu kejar, Kaycia akan menanggung semuanya." bisik Lidya tepat di telinganya, dengan seringai dibibirnya.

Asten mengeratkan rahangnya, "gue ke basecamp." ucapnya.

Dalam sekejap mata, semua berita tentang kejadian di pagi hari itu tersebar ke seantero Dharmawangsa. Terjadi perdebatan dikalangan warga sekolah, ada yang mendukung Kaycia dan ada pula yang mendukung Lidya.

Semua orang jadi tahu, hubungan rumit diantara ketiganya. Mereka menjadi topik hangat yang diperbincangkan seantero sekolah.

Sementara itu, Keenan tengah kepalang mencari keberadaan Kaycia. Padahal baru sebentar ia tinggal karena mengurus beberapa hal bersama sang Papa, Keenan sudah mendengar berita tak mengenakan tentang adiknya.

Sungguh, ia akan membuat perhitungan pada Asten setelah ini.

"Cia ... Angkat telpon kakak." ucap Keenan beberapa kali menelepon Kaycia, tapi hasilnya nihil. Kaycia tidak menerima panggilannya. Keenan sangat takut dan khawatir saat ini.

Frustasi Kaycia tidak ada di mana-mana, Keenan pun membolos dan kembali ke mansion. Ia akan mencoba melacak keberadaan adiknya itu melalui monitornya.

Hingga akhirnya ia menemukan keberadaan Kaycia. Lebih mencengangkan, ternyata Kaycia berada di makam sang Mama dan adiknya, Karl.

Tak banyak waktu, Keenan segera menemuinya.

Sampai di sana, ia melihat punggung adiknya yang tengah memeluk erat batu nisan sang Mama. Hatinya teriris pilu, tak tega melihat adik kesayangannya terpuruk.

"Kenapa Mama gak ajak Cia aja? Cia mau sama Mama, walaupun di sini ada Papa dan kak Keen ... Tapi Cia lebih pilih sama Mama."

"Cia sakit Ma ... Di sini terlalu jahat." Kaycia mengusap air matanya.

"Cia gak tau kenapa mereka jahat sama Cia."

Air mata Keenan hampir saja turun jika saja ia tidak menahannya. Ia sejajarkan dirinya dengan Kaycia, lalu membawa Kaycia ke dalam pelukannya.

"Ada kakak, juga Papa di sini. Jangan nangis, sayang ..." ucap Keenan, mengecup puncak kepala Kaycia dan mengelus punggungnya.

"Kakak akan balas rasa sakit kamu ke mereka."

Kaycia menggeleng, kemudian mendongak. "Jangan kak. Cukup di sini kita berurusan sama mereka. Udah cukup ... Cia gak mau!" isaknya semakin mengencang.

"Kak Keen harus janji, cukup sampai di sini kita berurusan sama mereka."

Keenan mengelus surai Kaycia. "Apa yang baik untukmu, yang terbaik juga buat kakak." senyumnya, mengecup keningnya.

..............

Sekuat apapun Kaycia melupakan semuanya, pada kenyataannya itu terlalu sulit. Semalaman ia menangis, menghabiskan helaian tisu, bahkan makan malam pun ia tinggalkan.

Ternyata sesakit ini patah hati. Namun, ini bukan lagi tentang patah hati, melainkan lebih dari itu. Kaycia hanya bisa mengandai-andai, jika saja sedari awal ia menuruti peringatan Karl, maka tak seperti ini ceritanya.

"Kamu yakin mau berangkat sekolah?" tanya Rasello, melihat wajah lesu putrinya. Bahkan kantung matanya yang besar tak bisa ia tutupi.

"Yakin Pa ..."

"Sebaiknya kamu istirahat aja."

"Cia gak apa-apa kok Pa ..." ucap Kaycia meyakini.

Rasello menghela nafasnya seraya meletakkan sendok. "Hari ini dan seterusnya, kamu gak boleh jauh dari Keenan. Kali ini Papa mentoleransi kesalahan dan kebohongan kamu. Papa gak mau kejadian itu terulang lagi. Kamu juga Keenan, jangan sampai lalai lagi menjaga adikmu."

"Iya, Pa." serentak Kaycia dan Keenan.

Mendengar semua cerita tentang kejadian kemarin yang menimpa anaknya, membuat Rasello murka. Kejadian itu diluar kendali Rasello.

Ia pastikan, orang itu akan mendapatkan balasan yang setimpal. Rasello janji akan hal itu, walaupun putrinya sudah melarang tapi Rasello tak mengindahkannya.

"Pindah alihkan semua saham perusahaan Shappier pada kita."

"Baik tuan."

Rasello mematikan sambungan ponselnya, menatap lukisan indah di depannya. Lukisan wajah Viola yang terlukis indah. Lukisan itu ia buat khusus untuk mengenang Viola, mendiang istri tercintanya.

"Sayang, maaf kalau aku gak becus menjaga anak kita."

"Aku gak bisa mengurus mereka seorang diri."

"Tolong, kuatkan aku dari sana. Aku akan berusaha memenuhi janjiku di sini." Rasello mengelus lembut lukisan Viola.
.
.
.
.
.
.
.

To be continued

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 16 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

My Nerd Is Perfect Where stories live. Discover now