Bab 46

301 23 8
                                    

Happy Reading Guys
.
.
.
.
.

Flashback on

Senyum Asten tak lepas dari bibir, melihat hasil jepretannya bersama Kaycia. Ia tinggikan fotonya, membayangkan betapa indahnya jika terus bersama Kaycia setiap saat, memiliki hubungan spesial, dan memiliki Kaycia seutuhnya.

Ah, rasanya angan-angan itu sangat mudah dicapai. Tapi kenyataannya, jauh dari itu. Kemudian, senyumnya berubah menjadi getir. Mimpinya terlalu besar. Tidak, bahkan ini bukan apa-apanya. Ia harus lebih giat lagi memperjuangkan cintanya.

Disaat pikirannya sedang terbang tinggi, ketukan pintu yang menggebu membuyarkan semua itu. Pelakunya ternyata segerombolan pria berjas hitam. 

"Mau apa kalian?" tanya Asten. Ia tahu bahwa segerombolan pria berjas hitam tersebut adalah suruhan Papanya, Wijaya.

"Tuan besar meminta kami untuk menjemput tuan muda pulang." ucap salah satu pria berjas hitam.

"Katakan sama pak tua itu, kalau gue gak mau dan gak akan pernah nginjakin kaki lagi di neraka itu!" gertaknya, bersiap menutup pintu.

Ketika pintu itu hampir tertutup, para pria tersebut menahannya. "Maaf, tuan besar meminta kami membawa Anda secara paksa jika tidak ingin ikut." 

Asten memberontak saat mereka mulai menariknya paksa. Namun, seolah Papanya tahu kemampuannya, Wijaya mengirimkan anak buahnya begitu banyak dengan tubuh Titan.

Memberontak pun rasanya percuma, jadi mau tak mau suka tak suka, Asten pasrah saja. 

Hingga akhirnya mereka sampai di mansion utama. 

Baru Asten ingin meluapkan protesnya, ia dikejutkan oleh keberadaan Lidya beserta kedua orang tuanya. Asten merasa heran.

"Sayang, duduk ..." pinta Jessica, duduk di samping Wijaya yang dengan angkuhnya duduk menyilangkan kaki seraya menatap Asten.

Asten menatap kedua orangtuanya jengah. Ada apa lagi ini, Asten membatin. Ia sangat tahu pasti jika kedua orangtuanya itu tengah merencanakan sesuatu.

Walau begitu, Asten tetap mengikuti perintah Jessika untuk duduk menyambut tamu. Ia masih ingin menjaga martabat keluarga, meski menyebalkan jika teringat sikap kedua orangtuanya selama ini.

"Tante dengar kamu sekarang lebih nyaman tinggal di apartemen?" tanya Hana, ibu dari Lidya.

Asten memicingkan matanya pada Jessica dan Wijaya. Mereka berbohong, tapi kenapa? Apa yang mereka rencanakan? pikirnya, yang terus berputar di kepala.

Asten mulai was-was, tak biasanya kedua paman dan tantenya datang bersama Lidya ke mansion.

"Biasalah, anak muda." Jessika menimpali pertanyaan yang seharusnya Asten jawab.

Hana tertawa kecil, tanpa tahu kejadian sebenarnya.

"Begini Asten. Kedatangan kita hari ini, berniat untuk membicarakan kesepakatan pernikahan kamu dan Lidya." tutur Andra, Papa Lidya.

"APA?!" Asten terkejut, bahkan matanya membola tak percaya. 

Apa-apaan ini, tak seharusnya terjadi. Mereka itu sepupu, kenapa membicarakan pernikahan yang tak pernah Asten bayangkan sedikitpun. Sepertinya mereka tengah mempermainkannya.

"Kalian bercanda? Kita masih keluarga!" sanggah Asten.

"Kita gak sedarah, As." ujar Lidya menimpali sanggahan Asten.

"Tetep aja ini gila! Gue gak mau!" Asten beranjak, namun ditahan oleh teriakan Jessika.

"ASTEN DUDUK!" 

My Nerd Is Perfect Where stories live. Discover now