7. Si yang Paling Sama

26 2 1
                                    

Halo

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Halo. Ini diclaimer dikit, ya. Bab ini lumayan panjang. Sekitar 4.500 kata. Tadinya mau saya penggal jadi dua bab, tapi sepertinya kurang cocok. Jadi, inilah dia.
Semoga nggak bosan, ya.

Selamat membaca ^^


Rapat itu ditutup dengan jurnalku yang semakin penuh dan tambahan tugas untuk kembali merekap jadwal Seta selama satu bulan ke depan. Ada beberapa perubahan yang akhirnya diputuskan bersama tim lain dari Dreams Record, label rekaman yang menaungi Seta Wibisana. Salah satu yang terbesar adalah perilisan single bertajuk Ditto. Lagu yang malam itu Seta tunjukkan padaku di rumah pohon kami.

Seharusnya lagu itu dirilis bersamaan dengan full album Seta beberapa bulan lagi. Namun, produser Dreams Record, Mas Hanum, beranggapan bahwa lagu ini cocok untuk dirilis lebih awal. Katanya, ambients yang dibangun lagu tersebut terdengar ringan dan menyenangkan. Sekali dengar, orang akan mudah menghafalnya. Harus kuakui, bahkan hanya dengan mendengar demonya saja, aku tahu lagu ini akan menjadi hits di Indonesia.

“Lagu sebagus ini sayang banget kalau cuma jadi b-side,” ujar Mas Hanum beberapa saat lalu dalam rapat tim. “Gue rasa Ditto perlu spot sendiri. Anggap aja jadi pembuka buat full album nanti.”

Pada akhirnya, diputuskan bahwa Ditto akan rilis terlebih dahulu, bahkan sebelum Seta mengambil masa rehat untuk mempersiapkan full album. Dan itu artinya, aku harus menyelipkan berbagai jadwal baru di tengah jadwal lain yang sudah kususun sebelumnya. Jadwal rekaman, syuting klip video, belum lagi promosi ke sana kemari setelah lagu tersebut rilis. Bahkan memikirkannya saja sudah membuatku lelah. Sepertinya aku butuh kopi.

Aku menutup buku catatan dan membereskan barang-barangku yang bertebaran di meja rapat. Di sisiku, Apoy mengerang keras sembari menyandarkan tubuhnya ke punggung kursi. Lalu ia menggumamkan apa yang saat ini memenuhi kepalaku.

“Gue butuh kopi.”

Aku menjentikkan jari, tersenyum-senyum karena menemukan partner yang sevisi. “Kafe bawah. Kopi sama roti goreng isi mozarella. How?

Ini belum jam makan siang dan aku belum terlalu lapar. Tetapi kudapan kecil seperti ini memang pas sekali untuk camilan sembari minum kopi. Di sisiku yang lain, Seta ikut menjentikkan jari.

“Terus roti sosis keju sama americano empat shot.”

Aku langsung melotot, menggeplak lengan Seta dengan buku jurnalku yang tebal itu. “Cari mati lo? Single shot.”

“Mana berasa, Yaya. Yang ada gue malah langsung tidur nanti.”

“Kalau empat shot, lambung lo yang tidur nanti. Mau lo disuntik dokter?”

Semesta RaiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang