1. Dunia di Balik Panggung

64 10 4
                                    

—

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Pernahkah kamu berpikir bahwa waktu itu relatif? Satu menit bagi orang yang sedang menunggu taksi akan berbeda dengan satu menit yang orang habiskan untuk berbincang dengan kekasih. Padahal satuannya sama. Porsinya pun tidak berbeda. Satu menit. Enam puluh detik. Tetapi dalam situasi berbeda, satu menit punya jutaan makna.

Jika saja sedang bersantai sembari membaca novel romansa di ranjang favoritku yang empuk itu, aku tidak akan mau repot-repot memikirkan berapa menit yang kuhabiskan di sana. Tetapi kini, di sudut gelap yang temaram dan hanya diterangi sedikit lampu sorot dari ponsel, di sisi tangga dekat pengeras suara, aku merasa bahwa satu menit itu amatlah berharga.

Di tengah pencahayaan yang minim sekali, aku dipaksa untuk memiliki kemampuan pengelihatan seperti hewan nokturnal. Aku mendekatkan tubuh pada cowok jangkung di hadapanku. Memeriksa in-ear monitor yang terpasang di telinganya. Memastikan kerah kemeja flanel yang digunakannya tidak terpilin. Juga mengevaluasi bahwa kinerja Boy, make up artist yang baru saja bertugas itu tidak meninggalkan jejak kesalahan.

"Lo serius nggak mau ke psikolog, Ya?"

Pertanyaan itu dibisikkan dengan lirih. Tiga puluh detik tersisa, dan cowok di hadapanku memilih untuk mempertanyakan hal-hal tak jelas.

"Buat?" tanyaku seraya memastikan pelantang suara yang dipegangnya dalam keadaan baik.

"Periksa," katanya. "Gue agak sangsi lo betulan punya OCD."

Ah, kecenderunganku untuk membuat segalanya sempurna. Sesungguhnya itu bukan sesuatu yang ekstrem. Aku hanya tidak suka jika ada hal-hal yang berjalan di luar rencana. Mengacaukan jadwal. Menimbulkan bencana. Aku tidak suka jika semua yang sudah kupersiapkan dengan baik itu hancur hanya karena masalah kecil.

"Daripada mikirin gue punya OCD atau enggak, mending lo mikirin diri sendiri."

Aku menatap ke panggung terbuka di sisiku. Setengah jam lalu, hujan mengguyur hingga membuat lantai panggung itu jadi licin. Tetapi itu semua tidak berpengaruh pada semangat kru dan penonton yang hadir. Konser musik ini terus berjalan meski harus sambil basah-basahan. Risiko jika harus manggung di ruang terbuka.

"Jangan kebanyakan gaya lo di panggung. Licin."

Aku memperingatkan cowok itu dengan serius, tetapi tentu saja tidak ditanggapi dengan baik olehnya. Dia menyeringai. Meski dalam keremangan, aku dapat melihat kilat matanya yang kelabu itu bersinar jahil. Sementara dari arah panggung, musik mulai mengalunkan intro lagu yang sudah aku hafal mati. Lampu-lampu mulai dinyalakan kembali.

Semesta RaiaWhere stories live. Discover now