4. Pesta di Rumah Wibisana

29 6 4
                                    

—

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ada tiga hal yang paling kubenci di dunia ini. Jadwal yang kacau karena kesalahan kecil, orang yang bermain-main dengan makanan, dan dibangunkan paksa saat aku memutuskan untuk tidur sampai siang.

Itu adalah hal-hal yang paling bisa membuatku naik pitam. Yang membuat suasana hatiku menjadi keruh seketika. Seta bilang, jika sudah begitu, aku jadi mirip gozilla yang mengamuk. Meskipun demikian, hari ini Seta justru memilih untuk memantik rasa amarahku langsung ke titik maksimal. Dengan cara yang sangat menyebalkan.

Beberapa minggu belakangan aku sibuk sekali bolak-balik ke luar kota mengikuti jadwal Seta yang memang padat. Baru akhir pekan inilah aku mendapat jatah libur, yang meski sebentar, ingin kumanfaatkan untuk tidur sepuasnya. Membayar utang malam-malam bergadang yang jelas mengacaukan kesehatan. Dan di tengah tidur nyenyakku yang menyenangkan itu, aku mendengar suara bel apartemen yang ditekan berkali-kali. Juga disertai ketukan pintu dan suara Seta yang memanggil namaku berulang-ulang. Membuatku mengerang marah setengah menangis karena dibangunkan paksa.

Aku mengubur kepalaku dengan bantal, mencoba meredam suara bising itu dan kembali tidur. Tetapi Seta justru kian menggila di depan sana. Ketukan pintu berubah menjadi gedoran. Bel ditekan terus menerus sampai kupikir aku sedang mendengar alarm kebakaran.

“Yaya! Bukain pintu, woy! Buruan! Urgent, nih, urgent.”

Aku menjerit tertahan dan bangkit dengan kesal. Kutendang-tendang selimut hingga tersudut ke pinggir ranjang. Rambuktu yang sudah acak-acakan itu kujambak dengan frustasi. Sementara di depan sana, Seta masih begitu berisik. Bersikeras meminta dibukakan pintu.

Aku tentu saja bisa membiarkan Seta di sana dan ditegur tetangga karena kehebohan yang dibuatnya. Aku juga bisa menelepon petugas apartemen untuk menendang bokong Seta atau melaporkannya ke pihak berwajib. Namun, kemarahan yang sudah di ubun-ubun membuatku turun dari ranjang, berderap marah menuju pintu, dan berniat untuk menempeleng kepala Seta dengan tanganku sendiri.

Didorong oleh api amarah yang berkobar-kobar, aku membuka pintu apartemenku. Langsung berhadapan dengan Seta yang segera menyelonong masuk bahkan tanpa kupersilakan. Sebelah tangannya memegang wajan antipanas berisi nasi goreng beraroma harum. Cowok itu langsung beranjak menuju dapurku sambil menggerutu tentang betapa leletnya aku membukakan pintu. Sementara Monday mengikuti Seta masuk tepat sebelum aku menutup pintu.

“Ta, lo tahu nggak? Kemarin gue diajarin Bang Dodi buat buka deep web,” kataku sambil menyebut salah satu kru manajemen yang bertugas di bidang publikasi. Aku menumpukan tangan di kitchen island, menatap punggung Seta yang lebar karena ia sedang membelakangiku.

“Ngapain lo buka deep web?” Seta menyalakan komporku dan mulai mengaduk-aduk nasi goreng yang warnanya belum merata itu.

Semesta RaiaWhere stories live. Discover now