Sebelas

150 11 1
                                    

Sudah lima belas menit Lana menunggu Bian di balik pintu. Berulang kali mengintip melalui jendela. Menanti kepulangan suaminya. Bian mengatakan sudah dalam perjalanan menuju rumah. Tapi, hingga detik ini belum ada mobil yang berhenti di depan rumahnya.

Bian mengatakan pesawatnya akan mendarat sekitar pukul sepuluh pagi. Tapi, sudah hampir setengah dua belas siang. Pria itu belum juga tiba. Jarak dari bandara ke rumahnya membutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit.

"Ntar aku ngomongnya sama Bian gimana ya?" Lana menggigit bibirnya sendiri. Mencari cara bagaimana menyampaikan keinginannya kepada Bian. Pasalnya, ia yakin bahwa suaminya pasti menolak.

Dengan sisa waktu hingga Bian tiba di rumah. Lana harus segera merangkai kalimat yang akan langsung Bian setujui tanpa banyak alasan dengan maksud menolak. Meski sebelumnya pria itu telah berjanji akan menuruti semua keinginannya. Tapi, ia ragu dengan permintaannya yang satu itu.

Suara deru mobil berhenti tepat di depan rumah. Suara pintu mobil terbuka terdengar kemudian. Lalu, suara Bian yang berbicara kepada supir antar-jemput juga tertangkap indra pendengarannya.

Lana meringis tipis. Jantungnya berdebar lebih cepat. Padahal dua hari lalu, kepulangan Bian adalah hal yang paling dinanti. Begitu suaminya tiba di rumah ia justru merasa khawatir.

Menarik napas dalam-dalam. Lana sedang berusaha menenangkan jiwanya. Supaya saat berhadapan dengan suaminya, dirinya tidak nampak mencurigakan. Mengusap setitik peluh yang menghias pelipisnya.

Lana sedang bersiap menyambut Bian seperti biasa.

Di luar sana, Bian sedang bercengkrama singkat dengan supir yang baru saja mengantar. Suara tawa kecil pria itu terdengar hingga ke dalam rumah. Lalu saat suara pintu pagar terbuka. Lana terasa semakin lemas.

Dalam hati menghitung setiap langkah suaminya hingga tiba di depan pintu. Lana akan langsung membukanya dan menyambut seperti biasa. Sungguh, dirinya gugup luar biasa.

"Bian," sapanya bersamaan dengan pintu rumah yang terbuka.

Suara Lana yang cukup menggelegar membuat Bian memekik karena terkejut. "Astaga, Lana! Kamu ngapain sih ngagetin aku?" Ucap pria itu kesal.

Lana menyengir. Padahal ia tak ada niatan untuk mengejutkan suaminya. Ia hanya sedang berusaha menutupi rasa gugupnya. Menyambut Bian dengan semangat. "Aku nggak ngagetin kamu. Kamu aja yang kagetan." Kikiknya geli.

Bian mendengkus. Menarik Lana ke dalam pelukan. "Selamat ulang tahun, Cantik. Kemarin 'kan baru ngucapin lewat video call. Hari ini baru ngucapin langsung." Mencium kening Lana, lalu beralih mencium bibirnya.

Membalas pelukan Bian tak kelah erat. "Kangen banget, Bi. Padahal aku udah biasa ditinggal. Tapi, nggak tahu kangen aja." Menghirup aroma tubuh Bian yang selalu berhasil membuatnya tenang. "Kamu bawa oleh-oleh buat aku nggak?"

Bian lebih dulu mengurai pelukan mereka. Posisi keduanya masih belum berjarak. "Bawa. Pempek 'kan?" Menangkup pipi istrinya.

Yang bisa membuat wajah Alana Maya Raflessia cerah ceria adalah makanan. Wanita itu jarang sekali meminta barang-barang seperti tas atau sepatu kepada Bian. Karena sebagian besar yang Lana minta selalu berkaitan dengan makanan.

Kemarin Bian menginap di Palembang. Sengaja meluangkan waktu membelikan oleh-oleh untuk istrinya. Sesuai dengan permintaan Lana, ia pun membelikan satu kotak pempek. "Pempeknya di dalam koper." Bian menunjuk kopernya.

Lana berseru senang. "Aku bantu bongkar koper kamu sekarang, ya?" Hal yang paling Lana suka setelah Bian pulang bekerja adalah membongkar koper pria itu. Mengeluarkan oleh-oleh yang pria itu bawa setelah beberapa hari bekerja. Lana selalu dibuat tak sabar saat membongkar isi koper Bian sepulang bekerja.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 19 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

AdaptasiWhere stories live. Discover now