Dua

169 11 1
                                    

Dulu sewaktu duduk di bangku sekolah menengah atas, Lana masih bertanya-tanya mengenai siapa jodohnya. Sebab, sewaktu itu kisah cintanya tidak begitu mulus. Cinta monyet yang katanya penuh dengan alur menggemaskan berubah menjadi alur yang menyedihkan. Perasaannya hampir tak pernah dibalas.

Di waktu itu juga Lana bertemu dengan Bian. Mereka teman semasa sekolah. Berbeda kelas, tetapi mengikuti satu ekstrakulikuler yang sama. Mulai berkenalan dan sesekali mengobrol.

Namun, apakah kisah cintanya di mulai waktu itu juga?

Jawabannya tidak.

Setelah lulus dari sekolah menengah atas, Bian dan Lana hidup masing-masing.

Lana masih menetap di kota Semarang bersama orang tuanya. Sedang, Bian mulai berkelana mencari masa depan. Lana memilih untuk berkuliah di salah satu universitas swasta di Semarang. Sebab, dirinya tidak lolos seleksi perguruan tinggi negeri saat itu.

Bian memilih untuk melanjutkan ke sekolah penerbangan. Kebetulan sekali, dengan kemampuan yang dimiliki pria itu. Bian berhasil mendapat beasiswa hingga selesai. Setelah lulus dari sekolah penerbangan, pria itu lolos tahap seleksi dan bergabung di maskapai pelat merah.

Pertemuan mereka pun terjadi kembali sekitar dua tahun lalu. Di sebuah acara reuni sekolah. Hanya sekedar mengobrol ringan bersama teman-teman saja. Tak ada yang spesial dalam obrolan mereka kala itu.

Namun, sepertinya semesta mendukung penyatuan mereka.

Pertemuan mereka tak berhenti hanya sampai di sana. Bian kembali dipertemukan dengan Lana tiga bulan setelahnya. Saat wanita itu sedang melakukan perjalanan dinas. Pesawat yang Lana tumpangi hari itu, dikendalikan oleh Bian.

Mereka saling bertegur sapa. Bian yang lebih dulu meminta nomor ponsel Lana. Dan dari situ mereka mulai rutin bertukar kabar. Kedekatan mereka berakhir hingga menuju pelaminan.

Terdengar mudah memang kisah cinta mereka. Tetapi, sewaktu itu Lana belum tahu jika setelah menikah permasalahan baru akan mulai menyapanya. Bukan karena suaminya jahat atau kasar. Ia tahu betul betapa besar cinta yang Bian miliki untuknya.

Tetapi, di suatu siang tepat seminggu setelah menikah. Bian memberikan pernyataan yang resmi membuat Lana terkejut sekaligus bersedih. Ucapan pria itu berhasil membuatnya kecewa. Tak ada diskusi lebih dulu sebelumnya. Padahal yang menjadi tokoh utama dalam pernikahan ini bukan hanya Bian saja. Ada Lana juga yang menjadi pemeran utamanya.

“Aku nggak mau punya anak, Lan. Sampai kapan pun aku nggak mau punya anak.”

Bagai petir di siang bolong yang menyambar Lana.

Saat menjalin hubungan tak pernah sekalipun Bian membahas perihal anak. Pria itu tak pernah mengatakan bahwa dalam pernikahan mereka tak akan ada anak. Padahal cita-cita Lana menjadi seorang ibu.

Sudah terlanjur menikah. Lana tak bisa melakukan apapun meski perlahan hatinya menderita. Rupanya, hanya dicintai suaminya setengah mati saja tak lantas membuatnya bahagia. Hidupnya tak bisa sempurna seperti pernikahan orang lain di luar sana.

Tak bisa melayangkan protes. Sebab Bian sudah teguh pada pendiriannya sejak awal.

Padahal jika memiliki anak, dirinya mungkin tak akan kesepian seperti ini. Ada anaknya yang akan menemaninya. Ia bisa mengobrol dan bermain dengan anaknya. Tapi, mau bagaimana lagi jika memang suaminya enggan memiliki anak.

Lana sudah pernah menanyakan alasan yang membuat Bian tak mau memiliki anak. Tapi, pria itu memilih bungkam. Hingga detik ini, Lana tak pernah tahu alasan apa yang membuat pria itu enggan memiliki anak.

AdaptasiWhere stories live. Discover now