Enam

61 9 0
                                    



Rencananya Lana dan Bian akan langsung pulang besok. Bian ada jadwal penerbangan besok malam. Pria itu akan berangkat pukul tujuh. Jadi, mereka harus segera pulang. Harus tiba di Jakarta pada siang harinya.

Bian duduk di pinggiran ranjang yang ada di kamar mendiang kakeknya. Ia dulu pernah tidur di sini saat masih kecil. Mendiang kakeknya akan mendongengkan cerita sebagai pengantar tidur.

Setelah ibunya meninggal, Bian juga sempat tinggal di sini. Dirawat oleh kakek dan neneknya. Ayahnya menikah lagi setelah lima bulan ibunya meninggal. Lalu, kakak laki-lakinya berkuliah di luar kota saat itu. Mau tidak mau Bian harus tinggal di sini karena tak ada yang merawatnya.

Ayahnya langsung pergi begitu saja setelah menikah untuk kedua kalinya. Tak pernah peduli lagi dengan Bian atau kakaknya. Tak mau ambil pusing, Bian dan Abhi–kakak kandung Bian, memilih untuk mengabaikan seluruh kabar tentang ayah mereka. Ayah dan kedua anak itu resmi hidup bagai orang asing.

"Bi, aku cari kamu kemana-mana. Tahunya di sini." Lana masuk ke dalam kamar mendiang kakek dari suaminya. Ia sudah mencari Bian kemana-mana, tapi tak kunjung menemukan keberadaan suaminya. Lalu, tanpa sengaja ia justru mendapati Bian yang tengah duduk seorang diri di kamar mendiang kakek Haryo.

Bian melempar senyum kecil untuk menanggapi ucapan istrinya. Menepuk sebelah sisi ranjang yang kosong. Meminta Lana supaya duduk di sampingnya. "Aku masih nggak percaya kung udah nggak ada." Ditatapnya foto mendiang kakeknya yang terpajang di kamar. Mengenakan pakaian khas jawa berdampingan dengan neneknya.

Lana merangkul bahu suaminya. "Banyak kenangan kamu sama kung ya, Bi?" Mengusap lembut bahu suaminya.

Banyak sekali. Kakeknya begitu baik dan menyayanginya sejak dulu. Yang paling Bian ingat adalah sewaktu kecil dirinya pernah digonceng kakeknya menggunakan sepeda. Ia dibelikan mainan berupa pistol air sepulang bersepeda.

"Aku benci banget perasaan kehilangan, Lan. Benci banget. Aku nggak suka kalau harus merasakan sakitnya kehilangan." Bian benci perasaan kehilangan semacam ini. Makanya, ia takut jika orang yang sangat disayanginya akan pergi meninggalkannya.

Lana menarik Bian ke dalam pelukannya. Mengusap kepala bagian belakang milik suaminya. "Perasaan kehilangan itu wajar kok, Bi. Apalagi kalau kita kehilangan orang yang sangat kita sayang. Tapi mau nggak mau, kita harus tetap ikhlas."

Ia pernah kehilangan ayahnya. Mendiang ayahnya meninggal saat Lana berusia 21 tahun. Jadi, ia paham rasa kehilangan yang Bian alami saat ini.

"Kung ketemu sama mamaku nggak ya, Lan? Gimana ya perasaannya kung bisa ketemu sama mama?" Bian tidak tahu apa di alam sana, orang yang telah meninggal dunia ruhnya akan saling bertemu atau tidak. Tapi, imajinasinya membayangkan bahwa saat ini kakek dan ibunya tengah saling bertegur sapa.

Bian merindukan ibunya. Ia berharap kakeknya akan menyampaikan rasa rindunya kepada wanita yang telah melahirkannya ke dunia.

Lana tersenyum kecil. "Kalau emang ketemu, kung pasti lagi cerita selama ini kamu gimana aja. Terus kung pasti lagi cerita kalau Bian sekarang udah jadi pilot."

Bian tertawa mendengar nada bicara istrinya yang ceria. Hal itu berhasil membuatnya terhibur. "Mamaku pasti bangga ya, Lan? Soalnya aku bisa terbangin pesawat." Meraih tangan Lana lalu menggenggamnya erat.

"Bangga dong. Suamiku 'kan kebanggaan keluarga. Kung pasti lagi cerita sambil menggebu-gebu gitu ke mama kamu." Lana bisa mengimbangi imajinasi Bian. Tak masalah meski terdengar aneh. Apapun akan Lana lakukan supaya suaminya merasa terhibur.

Di kamar ini, Bian masih bisa mencium aroma tubuh kakeknya. Sama seperti saat dulu awal-awal Bian kehilangan ibunya. Kamar ibunya masih menyisakan aroma khas. Tapi, pemilik aroma khas tersebut telah memiliki tempat hunian baru.

AdaptasiWhere stories live. Discover now