Sepuluh

58 7 0
                                    



Besok Lana berulang tahun. Istrinya akan genap berusia dua puluh enam tahun. Bian tak bisa merayakan ulang tahun istrinya di rumah. Ia tidak bisa pulang karena masih harus bekerja.

Mungkin bisa dirinya mengirim kado di hari yang sama dengan ulang tahun Lana. Tapi, Bian merasa hal itu kurang spesial. Ia lebih senang memberi langsung kepada istrinya. Karena ini adalah ulang tahun pertama istrinya dengan status mereka yang telah berubah.

Bian ingin memberikan yang spesial kepada Lana di hari wanita itu bertambah usia. Tapi, apa daya, pekerjaan juga sebagian dari tanggung jawabnya. Mau tidak mau, istrinya yang harus mengalah.

Usia Bian dan Lana hanya terpaut tujuh bulan. Bian lahir di bulan April. Sedang, Lana lahir di bulan November.

Bodohnya lagi, Bian belum menyiapkan kado apapun untuk istrinya. Bahkan menentukan mau membeli apa juga belum tahu. Maka dari itu ia dibuat pusing kepala menentukan kado yang tepat untuk diberikan kepada Lana.

Menghisap rokoknya. Bian tengah duduk di kursi malas tepat di pinggir kolam renang hotel tempatnya menginap malam ini. Menatap langit malam yang cerah hingga ia bisa melihat bintang yang bertaburan di atas sana.

"Saya baru tahu kalau kamu merokok."

Bian buru-buru meletakkan rokoknya di asbak. Merubah posisi duduknya yang semula menyandar santai menjadi duduk tegap. Bibirnya menyunggingkan senyum ramah. "Lho, saya kira udah istirahat, Capt."

Ia pikir captain-nya sudah terlelap. Rupanya dugaannya salah. Buktinya pria itu menyusulnya sampai ke area kolam renang. Bahkan turut serta duduk di kursi malas kosong tepat di sampingnya.

"Belum. Lanjut aja merokoknya. Saya juga mau merokok kok." Ucap Zalian–pilot, yang bertugas bersama Bian membawa para penumpang ke tempat tujuan. Mengeluarkan rokok dari dalam saku. Menyulut rokok yang sudah terselip di antara belahan bibirnya dengan pemantik api.

Bian kembali menghisap rokoknya. Kebetulan captain yang saat ini sedang bertugas bersamanya tipe orang yang santai, tapi serius. Wajahnya mungkin terkesan dingin dan agak galak. Tapi, Bian senang bila dipasangkan dengan Zalian saat harus menerbangkan pesawat.

Zalian mendongak, meniup asapnya ke atas. "Saya baru tahu kalau kamu merokok." Ulangnya sekali lagi, karena Bian belum memberinya jawaban tadi. Mereka sudah terbang bersama beberapa kali. Dan baru kali ini Zalian melihat Bian merokok.

Bian tersenyum kecil. "Saya merokok cuma kalau lagi kerja aja, Capt. Di rumah saya nggak pernah merokok. Istri saya nggak suka asap rokok. Jadi, saya ngalah nggak merokok walaupun aslinya asem banget." Ucapnya kemudian terkekeh.

Zalian tersenyum geli. "Suami-suami sayang istri ya kamu, Bi."

"Istri memang harus disayang. Kalau nggak disayang buat apa dinikahi 'kan, Capt?" Tanya Bian dengan pendar jenaka. Kalau tidak menyayangi Lana setengah mati. Untuk apa Bian menikahi wanita itu.

Tawa kecil Zalian mengudara. Ia setuju dengan ucapan Bian. Jika Zalian masih hidup di masa lalunya yang kelam. Mungkin dirinya akan menyangkal ucapan Bian barusan. Tapi, karena kini ia pun juga termasuk dalam golongan suami-suami sayang istri. Jadi, ucapan Bian barusan membuatnya setuju.

"Capt Zalian juga perokok ya ternyata. Saya baru lihat." Ini pertama kalinya juga Bian melihat Zalian merokok. Pertama kali juga mereka duduk santai berdua di luar ruang kemudi. Zalian tidak terlalu banyak bicara. Jadi, Bian pun juga menjaga jarak dan hanya bicara seperlunya saja saat berada di luar pekerjaan.

"Saya merokok kalau pingin aja, Bi. Kalau nggak pingin ya nggak merokok." Jelas Zalian. "Ya mirip sama kamu juga lah. Merokoknya kalau di luar aja. Soalnya di rumah ada anak-anak. Saya takut asap rokok saya kena ke mereka."

AdaptasiWhere stories live. Discover now