Lima

87 11 0
                                    

Berita duka baru saja Lana dapat dari kampung halamannya. Kakek Bian baru saja meninggal dunia dini hari tadi sekitar pukul dua. Di luar rencana, Lana pun harus pulang ke Semarang hari ini juga.

Sengaja mengambil jadwal penerbangan pagi hari. Supaya masih bisa turut serta hadir di acara pemakaman kakek dari suaminya. Jadwal penerbangan yang Lana pilih adalah pukul sembilan. Pesawatnya dijadwalkan akan mendarat pukul sepuluh di Bandara Ahmad Yani, Semarang.

Dari informasi yang ia dapat, kakek akan dikebumikan sekitar pukul setengah satu siang atau sehabis zuhur. Jadi, Lana dan Bian masih memiliki waktu untuk tiba di sana sebelum pemakaman. Lagipula jarak bandara menuju rumah duka tidak terlalu jauh.

Saat mendapat kabar duka itu, posisi Lana sedang berada di rumah seorang diri. Bian sedang bekerja dan menginap di Palembang. Tapi, mereka sudah berjanjian akan bertemu di bandara. Pesawat Bian akan berangkat dari Palembang sekitar pukul enam pagi. Dan akan tiba di Jakarta pukul tujuh pagi.

Tak pulang terlebih dahulu. Bian akan langsung terbang menuju Semarang setelah jam kerjanya selesai.

Kaki kurus Lana yang dilapisi flat shoes mengetuk-ngetuk lantai tak sabar. Sudah pukul setengah delapan. Seharusnya pesawat Bian sudah mendarat jika sesuai jadwal.

Setengah jam sudah menunggu di pintu keberangkatan. Tapi, Bian tak kunjung terlihat batang hidungnya. Lana mulai bergerak gelisah. "Bi, kamu dimana sih?" Kedua matanya memindai setiap orang yang lewat. Berharap ia bisa menemukan suaminya di antara orang yang berlalu lalang.

Tak berselang lama, dari kejauhan Lana bisa melihat Bian yang masih lengkap dengan seragamnya, setengah berlari menghampirinya. Wajah pria itu terlihat murung. Lana tahu, Bian pasti sedih mendengar kabar duka ini. Terlebih suaminya begitu dekat dengan mendiang kakek.

Tepat ketika Bian sudah berdiri di hadapannya. Lana buru-buru menarik suaminya ke dalam pelukan. Memberikan kekuatan kepada pria itu. "Aku tahu kamu pasti hancur banget. Tapi, ini yang terbaik buat kung." Bisiknya menguatkan.

Bian mengangguk. Membalas erat pelukan Lana. Beberapa waktu lalu, dirinya berusaha terlihat baik-baik saja. Tapi, berada di pelukan istrinya, ia tak berjanji masih mampu berdiri kokoh. Sebab, Lana selalu mampu menjadi tempatnya bersandar di kala gundah. Bian tak harus bersusah payah berpura-pura tegar di hadapan wanita itu.

"Masuk sekarang, ya. Kita nggak punya banyak waktu." Ajak Lana karena waktu mereka tidak banyak.

Bian mengangguk. Tapi, sebelum itu, ia terlebih dahulu mengenakan leather jacket untuk menyembunyikan seragamnya. Ia sedang tidak bertugas. Seragamnya harus disembunyikan.

Keduanya berjalan cepat masuk ke dalam pintu keberangkatan. Melakukan check in, melewati pemeriksaan, dan segera menuju gate.

Duduk berdampingan menunggu waktu masuk ke dalam pesawat.

Lana mengenggam tangan Bian. Meletakkan tangan suaminya di atas pangkuan. "Kamu udah sarapan belum?" Mengusap punggung tangan pria itu.

Kebiasaan Bian saat sedang bersedih atau marah adalah pria itu akan lebih banyak diam. Jika tidak diajak berbicara lebih dulu, Bian juga tak akan berbicara. Lana yang harus memulai lebih dulu supaya suaminya mau membuka suara.

Bian menggelengkan kepalanya. "Belum," jawabnya dengan suara lirih.

Hatinya sedang diselimuti duka. Kakek yang dulu merawatnya baru saja meninggal dunia. Ironisnya, di detik-detik kakeknya pergi, Bian tak ada di samping kakeknya. Padahal kakeknya dulu selalu ada di saat ia membutuhkan bantuan.

Masih banyak hal yang belum Bian berikan untuk membalas seluruh kebaikan kakeknya. Tapi, kakeknya sudah terburu pergi. Bian sudah tak lagi memiliki kesempatan untuk membahagiakan kakeknya.

AdaptasiWhere stories live. Discover now