Satu

256 18 0
                                    

Alana Maya Raflessia, meninggalkan status sendirinya di usia 25 tahun. Setelah terjun langsung, rupanya kehidupan pernikahannya tak sesuai dengan bayangannya. Pernikahannya baru berjalan sekitar tiga bulan. Terbilang masih baru dalam perjalanan pernikahan yang akan berlangsung seumur hidup.

Rutinitas hariannya setelah menikah berubah seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya. Dulu ketika statusnya masih sendiri. Rutinitas paginya adalah bersiap untuk bekerja demi mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Dirinya bukan tulang punggung. Bekerja hanya supaya tak lagi merepotkan orang tuanya.

Namun, setelah menikah, ia diminta mengundurkan diri dari pekerjaannya di kota asal. Dengan berat hati ia turuti permintaan itu. Bagaimana pun dirinya adalah seorang istri yang harus taat pada perintah suami.

Begitulah dirinya sejak dulu diajarkan oleh ibunya.

Lana tak diminta mengurus suaminya. Tapi, sebagai istri dirinya cukup tahu diri dengan tugasnya sendiri. Menyiapkan keperluan kerja, makan, dan semuanya. Suaminya sudah bekerja untuk menghidupinya. Alangkah baiknya jika Lana pun juga membalas dengan mengurus pria itu.

"Lan, seragamku dimana, ya?"

Sejenak menjeda kegiatannya di dapur. Lana menoleh dan mendapati suaminya berdiri di belakangnya. Masih mengenakan handuk sebatas pinggang. Tubuhnya pun masih setengah basah. Pria itu sepertinya baru saja selesai mandi.

"Aku gantung di lemari. Udah aku seterika kok." Suaminya memang buruk perihal mencari suatu barang. "Mau aku bantu cari?" Tawarnya.

Pria itu mengangguk. "Boleh. Tolong cariin ya?"

Lana mengecilkan kompornya. Berjalan menuju kamar pribadinya yang ada di lantai dua. Di belakangnya ada suaminya yang tengah mengekori langkahnya.

"Udah di cari belum tadi?" Seingatnya ia menggantungkan seragam suaminya di dalam lemari bersama pakaian-pakaian yang lain. Benar saja, saat membuka lemari, seragam suaminya masih tergantung di sana. "Kamu carinya pakai mata nggak sih, Bi?" Mengerucutkan bibirnya kesal.

Abbiyan Putra Respati hanya bisa tertawa. Seingatnya, ia sudah mencari di sana. Tapi, tidak ada. Pada dasarnya, kedua matanya memang tidak seteliti mata istrinya. "Aku udah cari di sana lho, Lan. Tapi, nggak ada tadi." Ucapnya sembari menggaruk tengkuknya.

Lana mendengkus. "Makanya, kalau cari pakai mata." Ujarnya sembari mencubit perut suaminya.

Bian terkekeh. Cubitan istrinya sama sekali tidak terasa sakit. Tanpa aba-aba, ia justru merapatkan tubuhnya ke tubuh istrinya. "Kalau cari barang pakai mata. Tapi, kalau cium pakai bibir." Menyatukan bibirnya dengan milik istrinya.

Melingkarkan lengannya di pinggang Lana. Tak hanya sekedar mengecup. Bian juga melumat bibir istrinya lembut.

Demi seluruh semesta, ia begitu mencintai istrinya.

Tak lagi ada stok oksigen dalam tubuh. Lana mendorong tubuh Bian menjauh. Menatap pria itu datar. "Bian, kebiasaan banget ih." Marah karena tindakan suaminya yang selalu tiba-tiba seperti ini.

"Gemes banget kalau lagi kesel. Bibirnya maju ke depan. Sayang kalau nggak dicium." Bian tergelak, istrinya memang selalu menggemaskan. "Aku terbang lima hari ya, Lan. Kamu nggak papa 'kan di rumah sendiri?" Mengusap kepala Lana penuh sayang.

Menghela napas lelah. Memangnya Lana bisa protes jika dirinya keberatan. Bian pergi untuk bekerja. Bukan untuk bersenang-senang. Toh, pria itu bekerja juga untuk dirinya.

"Nggak papa kok." Lana mengusap punggung Bian yang telah mengering setelah mandi beberapa saat tadi. "Kamu hati-hati ya." Berjinjit kemudian mencium pipi pria itu. "Aku lanjut masak dulu. Kamu siap-siap dulu aja."

AdaptasiWo Geschichten leben. Entdecke jetzt