Delapan

50 5 0
                                    

Mental Lana sebenarnya telah siap menjadi seorang istri. Dirinya telah menyelesaikan masa mudanya. Jiwa menggebu-gebunya telah usai. Dirinya telah siap dengan segala perubahan kondisi. Meski mungkin masih membutuhkan waktu untuk beradaptasi.

Bian adalah sebaik-baiknya seorang suami. Meski bukan yang sempurna karena keputusannya yang menyakiti Lana. Tapi, di luar itu, Bian benar-benar luar biasa.

Mungkin jika diberi kehidupan untuk kedua kalinya, Lana akan memilih Bian lagi untuk menjadi pasangannya.

"Bi, bangun, udah subuh," Lana menggoyangkan tubuh suaminya. Mengusap kepala pria itu dengan tujuan supaya Bian terganggu dan akhirnya terbangun. "Bi, ayo, salat," sekali lagi Lana berusaha membangunkan suaminya.

Bian yang semula telentang merubah posisi tubuhnya menjadi miring menghadap Lana yang duduk di tepi ranjang. Tangannya melingkar di pinggang wanita itu. "Bentar, kumpulin nyawa dulu," ucapnya sembari mengeratkan pelukannya.

Lana menghela. Jemarinya mengusap kepala Bian lembut. Memberi waktu kepada suaminya sejenak untuk mengundang nyawanya kembali. "Berangkat jam berapa nanti?"

Perlahan kedua mata Bian terbuka. "Jam sembilan." Meletakkan kepalanya di pangkuan Lana. Telapak tangannya sesekali mengusap punggung istrinya lembut.

"Lama nggak? Nginep?" Lana masih pada aktivitas awalnya. Mengusap kepala suaminya. Menunduk untuk mencium puncak kepala pria itu.

Kepala Bian menggeleng. "Nggak, cuma tiga landing aja sih. Pulangnya nanti jemput ya, Lan. Keberatan nggak?" Bangkit dari posisi tidurnya setelah merasa nyawanya telah sepenuhnya terkumpul.

Tentu saja Lana tidak keberatan. Ia justru senang bisa mengantar dan menjemput Bian. Sebenarnya, maskapai suaminya memberikan fasilitas antar jemput untuk para crew. Tapi, terkadang Bian lebih suka bila Lana yang mengantar atau menjemputnya.

Pulangnya mereka bisa mampir terlebih dahulu ke suatu tempat. Misalnya ke restoran untuk makan lebih dulu sebelum pulang.

Lana melingkarkan lengannya di leher Bian. Mencium bibir suaminya. "Nggak dong. Suamiku aja nggak keberatan cariin aku uang. Masa aku keberatan jemput dia?" Mengusak hidungnya di ceruk leher Bian.

Aroma pria itu saat bangun tidur ntah mengapa khas sekali. Lana suka menghirup aroma itu terlebih dahulu sebelum menjalani hari.

Bian terkekeh geli. Mencium kening Lana sembari mengusap kepalanya. "Salat subuh, yuk."

Keduanya segera berjalan menuju kamar mandi. Mengambil air wudhu bergantian.

Semua orang mungkin bisa melihat Bian dalam balutan seragamnya. Membawa koper dan melenggang dengan menawannya di bandara. Tapi, tak satupun dari mereka yang bisa melihat Bian menggunakan kaos rumahan dan sarung bermotif kotak-kotak seperti ini. Terlebih dengan rambutnya yang basah sisa berwudhu.

Salat berjamaah dengan suami memang hal yang lumrah. Tapi, sebagai istri Lana begitu bahagia kala menjalaninya. Bersyukur karena ia dan Bian bisa sampai pada tahap ini. Berulang kali Lana berdoa supaya Tuhan menggerakan hati suaminya. Membuat Bian merubah pikirannya.

Setelah salam terakhir, Lana mencium punggung tangan Bian. Pria itu membalasnya dengan mengecup kening Lana. "Mau sarapan apa, Bi?" Tanyanya sembari melepaskan mukenanya satu persatu.

Bian tak langsung memberikan istrinya jawaban. Dilipatnya sajadah yang barusan ia gunakan sebagai alas salat. Lalu, menarik Lana untuk duduk di atas pangkuannya. "Kamu punya bahan apa aja di kulkas?"

Tak mau menyusahkan istrinya dengan menyebut nama suatu makanan. Karena takut jika makanan yang ia sebut ternyata bahan bakunya tidak tersedia di kulkas. Lebih baik ia sesuaikan saja dengan bahan makanan yang telah tersedia. Bian sendiri juga sedang tidak menginginkan suatu makanan tertentu untuk menu sarapannya pagi ini.

AdaptasiWhere stories live. Discover now