Hari Ketujuh di Pulau - 1

76 16 14
                                    

Kupikir banyak makan di hari kemarin bakal menutupi defisiensi nutrisi selama awal-awal kehadiranku di pulau ini. Sekarang aku malah muntah-muntah dan kepalaku semakin pusing.

Pak Teguh benar-benar melarangku beranjak dari dipan subuh itu, dan ketika kubilang ada anak-anak yang mau belajar mengaji setelah salat berjamaah, ia mengibaskan tangan.

“Nanti saya kasih tahu mereka.”

Aku tidak mengerti mengapa aku kecewa dengan keputusannya.

Hari ini rombongan dokter akan datang, jadi seharusnya aku tidak perlu khawatir. Meskipun demikian, jam demi jam menuju kedatangan mereka sangat lama, dan aku tidak tahu harus berbuat apa selain memandangi langit-langit yang tak ada bagus-bagusnya.

Kata ibu Horijon, aku masuk angin. Dia menawarkan kerokan, yang langsung ditolak secara halus oleh Pak Teguh.

“Anak ini lama di Amerika, tak tahu kerokan dia. Nanti kulitnya malah mengelupas.”

Ibu Horijon juga menawarkan ramuan tradisional untuk meredakan gejala mualku, tapi Pak Teguh berkata dia tidak berani memberiku macam-macam karena aku sangat ringkih.

Beberapa bulan lalu, aku akan sangat marah saat dilabeli lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi sekarang, berada di ujung tanduk oleh suguhan obat-obat tanpa pengawasan ahli, aku harus mengakui bahwa aku memang ringkih. Itulah kenapa aku dititipkan kepada bibi dari sisi ibu yang seorang dokter, bukannya kepada paman dari sisi ayah yang seorang ahli bisa ular.

“Nanti tak sembuh-sembuh kalau tak diobati,” kata ibu Horijon setengah memaksa.

“Saya sudah panggil dokter dari darat,” kilah Pak Teguh.

“Kami tak pernah berobat ke dokter kalau cuma masuk angin.”

“Iya, benar. Saya pun cukup minum Tolak Bala sudah langsung sehat. Tapi dia beda, Bu. Lihat, disenggol sedikit, tulangnya patah semua.”

Aku menepuk jidat. Darahku hanya sulit membeku, bukannya tulangku juga mudah patah seperti pengidap osteogenesis imperfecta.

Pada akhirnya, ibu Horijon tidak menggangguku lagi. Sebuah ember kecil bekas cat dinding diletakkan di sebelah dipanku untuk menampung muntah.

Aku membuka ponsel. Membaca ulang e-mail terakhir dari Selene. Aku tidak bisa berhenti memikirkannya, karena Selene begitu… sulit dipahami. Suatu hari dia terlihat ingin memberontak habis-habisan, tetapi di hari lain dia akan bersikap dingin dan pasif-agresif.

Andai Papa ada di sini dan menjelaskan cara berhadapan dengan wanita. Dulu ia suka sekali bercerita tentang cara menghibur Mama saat suasana hatinya buruk, atau mengajakku memilih hadiah untuk Mama pada hari-hari istimewa. Sebagian besar celotehannya tidak kuingat karena aku masih sangat kecil waktu itu. Yang kuingat cuma senyumnya yang lebar dan kedipan matanya saat punya rencana rahasia.

Kenapa, kenapa justru orang-orang yang paling kubutuhkan dalam hidup ini harus pergi duluan? Ini tidak adil.

Selagi aku bermuram durja di tempat tidur, seseorang lewat di luar jendela kamarku. Kamarku sejajar dengan bengkel keramik di belakang pondok, dan biasanya orang melewati sisi luarnya untuk membawa kayu bakar dari hutan.

Meskipun tubuhku rasanya masih tidak keruan, aku mencoba bangkit dan melongok keluar jendela. Anginnya beraroma tanah yang dipanaskan matahari. Ada aroma amis-amis laut juga. Aku merebahkan kepala ke birai jendela, menyimak derai ombak dan dengung kegiatan manusia di luar sana. Aku sempat berharap anak-anak itu mampir, karena rasanya sepi sekali di sini.

Sayangnya, yang muncul justru bapak-bapak seumuran Pak Teguh yang kukenali sebagai imam masjid. Badannya berotot dan dadanya bidang, kulitnya legam akibat terbakar surya.

Saujana MataWhere stories live. Discover now