Hari Keenam di Pulau - 2

50 14 6
                                    

Sudah lama aku ingin mencoba nerikomi. Tidak seperti teknik biasa yang mengharuskan tanah liatnya dibentuk di meja putar—yang sulit kulakukan dengan satu tangan cedera—nerikomi hanya membutuhkan sebuah penggilas adonan. Namun, teknik nerikomi datang bersama kejutan lain: ia menonjolkan permainan warna tanah liat.

Nice pernah menggulung dua tanah liat berbeda warna, satu merah pucat dari besi oksida dan satu lagi beige, menjadi semacam bunga, lalu mengirisnya tipis-tipis. Lingkaran-lingkaran bunga itu kemudian disusun berdempetan di meja yang sudah dialasi kanvas. Setelah semua lingkaran disusun, ia menggilas adonan itu menjadi satu lembaran besar bermotif bunga-bunga. Dia membentuknya jadi mangkok dengan bantuan tonggak kayu, mengeringkannya, dan membakarnya hingga menjadi keramik. Tidak ada proses glasir. Tujuannya memang menampilkan warna-warna tanah liatnya.

Bukan berarti aku akan melakukan apa pun yang dilakukan Nice. Dia sama sekali bukan panutanku. Dia pernah menyentil mataku gara-gara iri dengan bulu mata alamiku. Dia juga pelit.

Hanya saja saat ini kepepet.

Pak Teguh akhirnya mau mengeluarkan tanah liat stoneware-nya untukku. Ia membantuku dalam proses wedging supaya kantong-kantong udaranya benar-benar habis. Dan karena stoneware lebih susah dibentuk di meja putar ketimbang tanah liat yang kukerjakan sebelum ini, aku pun mendapat ide untuk menjajal nerikomi.

"Pasha mau bikin banyak keramik sekaligus?" tanya Horijon saat meraba ketiga bongkahan tanah liat yang sudah diuleni Pak Teguh. Ketiga bongkahan itu memiliki warna berbeda-beda.

"Karena kau banyak cakap, kukasih kau kerjaan." Aku menyuruhnya memegang satu bongkah yang berwarna biru pucat. "Kau bisa menggulungnya jadi berbentuk seperti ini?" Kini aku menyuruhnya memegang sebuah tonggak kayu bulat berukuran satu hasta.

"Bisa, bisa," kata Horijon bersemangat.

Ia pun melakukannya dengan baik karena indra perabanya jauh lebih sensitif daripada indra perabaku. Balok tanah liat buatannya halus dan mulus.

Selagi dia membentuk tanah liat itu, aku menggilas tanah liat kedua berwarna kelabu pucat hingga ketebalan tertentu, lalu setelah rata, aku melapiskannya ke balok hasil bentukan Horijon.

"Kenapa harus berlapis-lapis? Apakah bahannya berbeda?" tanya Horijon penuh minat.

"Justru itu. Tanah liat tidak boleh dilapis dengan tanah liat lain yang kandungannya berbeda. Nanti waktu dibakar, material yang lebih lemah bisa meleyot akibat panas yang lebih tinggi daripada yang mampu ditahannya. Aku cuma mengkombinasikan warnanya kok. Bahannya sama," jelasku.

Horijon mendesah. Wajahnya mendadak muram.

"Ada apa?" tanyaku.

"Tidak ada. Hanya saja, bagiku tidak ada bedanya keramik yang berwarna-warni dengan yang monoton. Maaf kalau aku tidak bisa mengikutimu dalam bidang ini."

Asap tidak enak dari tungku pembakaran masuk lewat jendela yang terbuka lebar, terbawa angin yang dingin dan basah. Sepertinya ada hujan di tempat lain.

Alih-alih mengeksekusi rencana awalku untuk membuat bunga-bunga nerikomi, aku kembali membungkus dua bongkahan tanah liat berbeda warna itu dengan plastik, menyisakan satu yang sudah dibentuk Horijon.

"Kita membuat keramik dengan teknik slab biasa saja," putusku.

"Apa tidak apa-apa?" tanyanya. "Apa aku menghambat Pasha?"

Mendadak aku mendapat ide agar Horijon bisa merasakan apa yang seharusnya bisa dilihat, tapi aku tidak bisa menjalankannya sekarang karena bahan-bahan yang tersedia masih sangat terbatas. Aku harus memesan semua variasinya ke daratan utama dan menitipkannya ke rombongan nakes yang hendak memeriksaku di sini. Besok jadwalnya mereka datang.

"Santai saja, setelah kupikir-pikir lagi, ideku tadi payah," kataku.

"Pasha marah padaku?"

"Jangan konyol. Untuk apa aku marah pada orang yang tidak tahu apa-apa tentangku?"

"Siapa tahu," kata Horijon, masih dengan wajah datar. "Omong-omong, Pasha belum pernah bercerita apa-apa tentang diri Pasha. Apakah seharusnya aku mencari tahu dari orang lain atau menunggu hingga Pasha bercerita sendiri?"

Kata-katanya menohokku. Aku bangkit dari dingklik kayu dan menyeret diri ke jendela bengkel keramik yang terbuka. Di pekarangan belakang, Pak Teguh duduk rebahan di sebuah kursi kanvas sambil mengamati nyala api di tungku pembakaran. Asap putih menguar dari cerobong alat berbentuk pemanggang piza kuno itu, juga dari ujung jemari Pak Teguh. Rokok.

Nice tidak merokok sesering Pak Teguh, tapi lebih dari sekali aku memergokinya merokok di jendela kamarnya yang terbuka setelah hari yang berat.

Aku tidak bermaksud mengikuti jejak Nice, tapi dia sudah berhasil bertahan hidup seorang diri setelah terusir di sana-sini, jadi dialah contoh terbaikku saat ini.

Aku meminta rokok Pak Teguh. Ia bertanya dari mana aku belajar merokok, dan kujawab, "Bapak." Ia tersentak mendengar jawabanku, tapi tidak melarangku.

Isapan pertama membuatku terbatuk-batuk. Tapi setelahnya biasa saja. Pahitnya masih bisa ditoleransi karena aku suka minum kopi tanpa gula. Pak Teguh justru heran karena reaksiku tidak seheboh yang ia bayangkan.

"Kau kenapa, Tsarevich?"

"Ringam. Anak kesayangan Bapak terlalu banyak bertanya," jawabku sambil menyentakkan kepala ke arah bengkel keramik.

Tawa Pak Teguh meledak. "Dia penuh kejutan, kan?"

Aku mencoba mengembuskan asap rokok itu lewat hidung. Sial, rasanya kok tidak enak sama sekali, sih?

"Mana yang lebih membuatmu kewalahan, Horijon atau anak saya?"

Oh, soal itu....





Dari Pengarang:

Sella seperti sambalado, bikin kewalahan tapi nagih





Saujana MataWhere stories live. Discover now