Chapter 4 : 1 kata yang menghancurkannya

3 0 0
                                    

20 November 2023

Pagi itu, sinar mentari yang lembut mencoba merambah masuk melalui jendela yang terbuka, namun senyap yang menghantui kamar Sena masih tetap tidak terganggu. Duduk sendiri di ujung tempat tidurnya yang terasa hampa, Sena memandang lantai dengan mata sembab yang kosong, terperangkap dalam kegelapan yang menyelimutinya. Udara terasa berat, seolah-olah memperkuat kesunyian yang mengisi ruangan.

Di sudut kamar, sebuah kotak kardus menarik perhatiannya, menyentuh bagian terdalam dari hatinya yang penuh dengan luka. Air mata menyelinap di pipinya saat ia memandang kotak itu, membanjiri hatinya dengan kesedihan yang tak terbendung. Barang-barang di dalamnya, sisa-sisa dari masa lalu yang menyakitinya, seakan menjadi saksi bisu dari kehancuran yang telah melandanya. Meskipun begitu, Sena masih belum sanggup untuk mengusir kotak itu dari pandangannya. Baginya, menghapus barang-barang itu berarti menghapus kenangan, dan itu terlalu menyakitkan untuk dijalani.

beberapa hari terakhir, Sena hidup dalam kehampaan yang melilitnya seperti belenggu tak terlihat. Setiap tarikan nafasnya terasa berat, seolah-olah membebani jiwanya dengan beban yang mengganggu. Tangisannya yang tak kunjung henti, menjadi saksi bisu dari derita yang menggelayut di dalamnya.

Nafsu makannya telah sirna, dan setiap suapan makanan terasa seperti batu yang terjatuh di tenggorokannya. Kegelapan itu menelan segala semangatnya, memadamkan cahaya yang pernah ada dalam dirinya. Bahkan hal-hal yang dulu mengisi hidupnya dengan kebahagiaan, kini terasa jauh dan tak terjangkau.

Sena merasa seperti setiap langkahnya ditelan oleh pasir hisap, menghisap kekuatannya perlahan-lahan, Usahanya untuk keluar, terasa sia-sia, seakan-akan dirinya terjebak dalam labirin tanpa jalan keluar.

Dalam keheningan yang menyiksa, Sena mencoba menemukan titik terang yang mungkin bisa menyelesaikan masalahnya. Namun, semakin ia mencari, semakin jauh ia merasa terdorong ke dalam jurang kegelapan yang tak berujung. Dan di tengah kesendirian yang membelenggunya, ia menyesali dan merindukan cahaya yang pernah menerangi 10 tahun hidupnya.

Sudah lebih dari tiga hari berlalu, namun Sena masih terperangkap dalam dunianya yang kelam. Di balik selimut yang menutupi tubuhnya, Sena terbaring kaku, tak berdaya menghadapi kehampaan yang memeluknya. Pikirannya terperangkap dalam kekosongan yang tak berujung, menyelimuti hatinya dengan kesedihan yang mendalam. Tiada kata-kata yang terucap, hanya sunyi yang menyelimutinya dan kesedihan yang merajalela di dalam relung-relung hatinya.

Bahkan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sekalipun, tak luout dari semua ingatan dan rasa sakit yang muncul didalam kepalanya, memutar kaset memori yang mengguncang hati dan jiwanya. Depresi yang menggerogoti jiwa dan pikirannya membuatnya semakin merosot, bahkan hingga merasakan dampaknya pada tubuhnya yang semakin kurus dan lemah.

Ketakutan dan kecemasan mulai merayap pada keluarganya, termasuk ibunya. Ketika ibunya memasuki kamar Sena, ia disambut oleh pemandangan yang menyayat hati. Kamar yang seharusnya dipenuhi dengan kehangatan dan keceriaan, kini menjadi tempat yang terabaikan dan terlupakan. Segala sesuatu berserakan dan berantakan, seolah-olah mencerminkan kekacauan yang menghantui pikiran Sena. Hanya satu kotak kardus yang tetap terletak di depan pintu dengan rapi, menjadi saksi bisu dari kehancuran yang melanda.

Dengan getirnya, ibunya menatap kotak kardus tersebut, melihatnya sebagai simbol dari keputusasaan yang merajalela di hati Sena. "Barang barang kaya gini... harusnya dibuang!" desisnya dengan amarah, menendang kotak itu dengan kasar sebagai ungkapan atas frustrasi yang meluap-luap di dalam dirinya.

Namun, di balik amarahnya yang tumbuh, ibunya juga merasakan sentuhan belas kasihan yang menghujani hatinya. Ia merasa sedih melihat bagaimana kegelapan telah menelan putrinya secara utuh, merusak segala sesuatu yang pernah indah dalam hidupnya.

Sena tetap terdiam, tak memberikan respons apa pun atas kemarahan dan kekesalan ibundanya. Hati ibunya semakin membara, dengan tindakan impulsif, ibunya menarik selimut yang menutupi Sena, memperlihatkan wajahnya yang tenggelam dalam kesedihan.

Namun, apa yang terungkap di bawah selimut itu bukanlah pemandangan yang mampu diatasi oleh Ibundanya. Sena terbaring di sana, Dengan mata sembab dan bibirnya yang pucat melamun menatap tembok.

"Udah cukup, Oke? Udah jangan kaya gini," desah ibunya yang mulai tercekat, suaranya bergetar dipenuhi oleh kesedihan. Namun, kata katanya tersebut hanya membuat Sena menangis lebih keras lagi, seolah-olah menyuarakan rasa sakit yang tak terucapkan dengan kata-kata.

Di ambang pintu, adiknya menyaksikan kakak dan ibundanya yang terjebak dalam pusaran kesedihan yang tak terduga. Tatapannya penuh dengan kepedihan, merasakan luka yang menganga di dalam hati mereka berdua. Namun, ia tak bisa berbuat banyak dalam luka luka tersebut.

Ibu Sena menariknya untuk berdiri dan membawa Sena keluar dari kamar, namun Sena menolaknya dengan menepis tangan ibunya dan berjalan kembali ketempat tidur.

Dalam langkahnya tersebut, dia tiba tiba berhenti, diikuti oleh air seni yang membanjiri celananya secara perlahan. Pemandangan tersebut begitu memukul ibundanya, seorang gadis yang dia besarkan hancur berkeping keping, bagaimana bisa dia bisa baik baik saja sebagai seorang ibu?

Dengan lemah dia terisak, tangisnya begitu menyesakkan dan semakin kencang, Sena mulai duduk tersungkur, menangis lebih kencang.

"Aku salah.... Aku banyak merenggut mimpi-mimpi dia... Aku jahat... Aku egois" raung Sena memecah keheningan, suaranya dipenuhi dengan penyesalan dan keputusasaan yang mendalam.

Ibunya bergetar, mencoba menahan air mata yang ingin meluncur dari matanya. "Engga, kamu ga salah, udah cukup udah.." bisiknya lirih sembari mengusap punggung Sena yang dapat dirasakan tulang tulangnya.

Di dalam pelukan ibundanya, Sena terasa rapuh seperti kaca yang siap pecah setiap saat. Namun, di tengah-tengah kehancuran yang mengitari mereka, pelukan itu menjadi satu-satunya pelampiasan atas kepedihan yang mereka rasakan. Dan di dalam keheningan yang menyakitkan itu, mereka berdua merasakan kehangatan satu sama lain, meskipun di bawah beban kesedihan yang tak terkira.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 11 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Benang Merah : We Used to Love Each OtherWhere stories live. Discover now