Langit Asmara

369 4 0
                                    

"Aku udah tahu Put, Ma!" ujar Bu RT lembut sambil menyusui anaknya, "Udah di sini aja. Di puncak bukit jauh kan?! Panas! Di sini aja enak!"

Akudan Ima terdiam saling pandang. Masih kebingungan dengan apa yang terjadi.

Sementara di ranjang, Kak Setya digenjot Kak Desi dari atas. Mereka tak sampai telanjang. Hanya menyibakkan baju dan melepas celana saja.

"Kutidurin anakku dulu!" ungkap Bu Ambar membawa bayinya ke lain kamar.

"Kok di sini sih, Kak?!" tanyaku pada Kak Desi sambil tersenyum heran.

"Iya, Setya nih!" jawab Kak Desi naik-turun, "Nakal banget! Bu RT berhasil ia embat juga! Huh!"

"Hah?!" pekikku.

Aku dan Ima tersenyum kaget. Kami berdua hanya mampu berdiri mematung melihat persetubuhan itu.

Ima lalu beranjak duduk di kursi yang tersedia di pinggir kamar. Seolah telah mampu menguasai diri. Akupun mengikutinya.

Kejutan demi kejutan sudah dilakukan Kak Setya. Apalah artinya mampu meniduri Bu RT?!

Bu Ambar kembali masuk dan duduk di samping kami. Anaknya sudah tertidur di kamar sebelah.

"Nah, di sini aja, Put," katanya lembut, "Aman! Nggak panas juga kan?!"

Aku dan Ima hanya bisa tersenyum canggung dan saling tatap.

"Iya," dukung Kak Desi memburu, "Coba dari dulu ya?! Hi hi hi!"

Mahasiswi itu semakin kencang menggenjot Kak Setya. Wajahnya sudah memerah dan pinggulnya bergoyang tak karuan.

"Keluar, Sayang!" pekiknya lemah meraba dada Kak Setya, "Uhhh, ahhh!"

Kak Desi menuruni Kak Setya dan mendekati kami. Lelaki itu lalu menyuruhku menggantikannya.

Aku menggelengkan kepala. Takut dan malu.

"Sini, Put!" perintah Kak Desi membetulkan celana, "Gantian!"

Aku hanya tersenyum dan terus menggelengkan kepala tanpa beranjak dari kursi.

"Ima, sini!" perintah Kak Setya kemudian.

"Sana, Ma!" dukung Bu Ambar mendorong ringan pundaknya.

Sahabatku itu dengan patuh mendekati Kak Setya dan naik ke ranjang. Lelaki itu segera menangkap tubuh kecilnya dan melucuti pakaiannya.

Ima membantu menelanjangi dirinya sendiri. Lalu menaiki tubuh sang pejantan dengan tangkas.

"Hmmpp!" pekiknya saat meriam Kak Setya ditusukkan ke vagina kecilnya, "Uhhh!"

Tubuh Ima sedikit menggelinjang dan menggeliat. Seperti ulat kecil yang digelitiki.

Kak Setya merabai segenap pinggang dan dadanya. Lalu perlahan mengarahkannya untuk naik-turun. Sahabatku itu pun mulai menggenjot kemaluan Kak Setya.

"Uhh, bagus!" puji Kak Setya memegangi pinggang kecil Ima dan menyuruhnya menggempur lebih kencang.

Ima dengan patuh mempercepat genjotannya. "Ahh, ahh, ahhh!" desahnya polos sambil memejamkan mata.

"Nggak usah malu, Put!" hibur Bu Ambar mengelus pundakku, "Anggap saja rumah sendiri. Kamu kan sering main kemari?!"

"Iya," imbuh Kak Desi duduk di sampingku, "Tuh, Ima aja berani!"

Aku diam saja sambil tersenyum-senyum; khas orang desa yang malu-malu ketika disuruh untuk maju.

Setelah Ima mencapai puncak, aku kembali dipanggil. Hati ini berdegup kencang seperti mendapatkan giliran panggilan oleh dokter gigi atau guru yang galak.

Bukit Bunga CintaWhere stories live. Discover now