Mayoret Cinta

282 5 2
                                    

Aku segera bersiap. Setelah mandi dan sarapan, kupakai seragam mayoret.

Ibuku mendadaniku. Sedikit bedak dan lipstik ia oleskan di wajahku. Cantik! 

Tentu berbeda dengan riasan saat aku menari. Pintar memang ibu ini! Mengerti model dandanan. Aku harus belajar darinya.

Bapak mengantarku sampai ke sekolah dengan sepeda motor model lama yang kami miliki. Dari sana, tim berangkat bersama menaiki mobil pick up.

Kami sampai alun-alun kabupaten cukup pagi. Masih sempat untuk latihan sebentar dan berkoordinasi. Tak lupa berdoa bersama.

Bu guru menyediakan snack, namun aku tak memakannya. Takut merusak lipstikku. Mayoret harus nampak cantik! Apalagi nanti Kak Setya datang untuk menonton.

Tapi, jadi tidak dia dan Kak Desi datang?! Saat aku melewati pondokan mahasiswa tadi, suasananya sepi.

Semoga mereka datang! Aku sudah bersiap memberikan penampilan terbaik.

Fitri duduk bersamaku dan mengobrol. Sementara Hendro menghampiriku dan berkata, "Semangat ya, Put!"

"Iya!" jawabku tersenyum kecil.

"Ehem!" goda Fitri di sampingku sambil memakan arem-arem, "Semangat mau lamar kamu tuh! Ha ha!"

"Ihh!" balasku mencubit lengannya. Ia pun berdandan tipis sepertiku.

Lomba segera dimulai. Berbagai tim dari kecamatan telah datang. Para penonton pun lumayan banyak. Tentu sebagian besar adalah orangtua murid dan guru atau pegawai kabupaten. Sebagian lagi warga yang kebetulan datang ke alun-alun sepagi ini.

Belum ada tanda-tanda Kak Setya atau Kak Desi datang. Keluargaku sendiri katanya juga mau datang bersama Maya dan Indah. Entah jadi atau tidak!

Satu per satu, tim drum band tampil. Memberikan atraksi di pusat kabupaten yang jarang ada hiburan ini. Tepuk tangan meriah pun mengiringi berbagai penampilan mereka.

"Ihh, bagus-bagus Put!" puji Fitri merengek, "Gimana kita nanti?!"

"Tenang aja!" hiburku.

Perhatianku sendiri menyasar ke arah penonton. Kak Setya dan Kak Desi belum juga terlihat. Padahal regu kami sebentar lagi tampil!

Akhirnya tim kami harus maju. Kubersiap di depan bersama Mbak Dinda, mayoret dari kelas dua.

Baik Kak Setya jadi datang atau tidak, aku harus memberikan penampilan terbaik!

Kami beri aba-aba tim untuk memulai permainan. Mereka nampak tersenyum menatapku. Terutama Fitri dan Hendro. Sebagian lain nampak tegang.

Musik dimulai. Kami berusaha tampil sebagus mungkin. Wajah manis dan penuh senyum harus ditunjukkan seorang mayoret. Diringi gerakan manis yang menarik penonton. Terutama lelaki, menurutku!

Di sebuah sudut, kulihat ada Kak Setya dan Kak Desi! Juga beberapa mahasiswa lain dan keluargaku. Maya dan Indah juga terlihat. Mereka meloncat-loncat kecil dan berseru, "Mbak Putri!"

Sepertinya mereka datang bersama ibu mereka dan orangtuaku. Sedangkan Kak Nisa tak terlihat. Ia pasti malas datang ke keramaian seperti ini!

Kuberikan penampilan terbaik. Atraksi lempar tongkat pun dapat kulakukan dengan lancar. Tak mengenai kepala seperti saat latihan tempo hari.

Kak Setya menyuting kami dengan handycam. Sedangkan mahasiswa lain memotret dengan kamera digital.
Membuatku semakin bersemangat untuk tampil.

Kami pun mendapatkan tepuk tangan meriah sesuai tampil.

Kak Setya dan yang lain lalu menenemuiku di pinggir lapangan.

Bukit Bunga CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang