BAB 7

1.7K 381 14
                                    

BAB 7

“Mas Argani, ada tamu yang menunggu di ruang kerja,” ujar salah satu asisten rumah tangga begitu mereka kembali ke rumah.

Senja sudah mulai turun saat kemudian Argani dan Renjana pulang dalam keadaan basah kuyup, kendati demikian mereka tak sama sekali tampak kesal atau menyesal. Binar mata keduanya justru menyiratkan kesenangan yang sulit ditutupi.

Begitu menapaki teras, Argani langsung berteriak memanggil salah satu pembantu untuk membawakan mereka handuk, yang langsung dituruti. Argani menghanduki istrinya lebih dulu.

“Sudah disiapkan kudapan?” tanya lelaki itu sambil lalu. Ia membantu Renjana mengusap rambut panjangnya yang meneteskan sisa-sisa air danau, sama sekali tak peduli pada dirinya sendiri yang juga kebasahan,

“Sudah, Mas.”

“Kalau begitu nanti akan saya temui setelah ganti pakaian. Kamu boleh pergi.”

Sesuai instruksi, asisten rumah tangga itu segera berlalu, meninggalkan Argani dan Renjana yang tampak sedikit kerepotan akibat ulah sendiri.

“Kamu bisa masuk duluan saja. Kasihan kalau tamunya dibiarkan kelamaan nunggu. Siapa tahu penting.” Renjana berusaha mengambil alih handuk dari tangan suaminya, tapi Argani tolak dengan menggelengkan kepala.

“Dia yang salah waktu. Ini bukan saatnya berkunjung.”

Renjana hanya mengedik, tak lagi membantah. Ia biarkan lelaki tersebut mengeringkan rambutnya sampai tak sebasah sebelumnya. Setelah memastikan tak ada lagi yang menetes ke lantai, keduanya masuk dan langsung menuju kamar di lantai dua. Renjana mandi di kamar pribadi mereka, sedang Argani di ruang sebelah. Dia memastikan lebih dulu bahwa Renjana sudah lebih baik saat kemudian pamit untuk menemui tamu yang entah siapa.

Aroma kopi dan kue kering suguhan salah satu asisten rumah tangganya menguar saat Argani memasuki ruang kerja yang pintunya dibiarkan setengah terbuka. Rambut panjang terurai menyambut begitu ia datang. Hitam legam dan lurus menutupi punggung ramping yang terbalut di balik pakaian hitam yang pas membungkus tubuh tinggi itu.

Argani tahu siapa dia tanpa harus bertanya. Ia pun mendesah dan menutup pintu rapat-rapat. “Ada hal penting apa sampai kamu harus datang ke sini tanpa pemberitahuan?”

Perempuan yang semula berdiri di samping jendela dan menatap jauh ke depan itu pun berbalik. Gelas kopi yang isinya tinggal separuh, tergenggam di salah satu tangannya. Melihat kedatangan sang tuan rumah, dia mendesah seraya menyandarkan punggung ke kusen jendela, tepat di samping kelambu putih tipis yang dibiarkan terbuka. Pemandangan di sana mengarah langsung ke danau. Tampak perahu yang tadi Argani dan istri naiki masih dalam keadaan terbalik.

“Sepertinya kalian sudah mulai dekat.” Dia berkata, menolak menjawab pertanyaan sebelumnya dengan wajah datar tanpa ekspresi. “Dia yang sebelumnya sangat antipati, sekarang ... tampak begitu jinak.”

Argani mengernyit tak senang. “Kalau kamu datang hanya untuk menyampaikan sampah semacam ini, lebih baik pergi. Aku sibuk.”

“Sibuk menipu perempuan malang itu maksudnya?”

“Chintya!”

Yang ditegur memutar bola mata. Ia menjauhkan punggung dari kusen jendela dan melangkah anggun ke tengah ruangan sebelum kemudian menjatuhkan diri si salah satu sofa panjang yang tersedia di sana. “Pernahkah kamu berpikir, bagaimana kalau nanti ingatannya kembali?”

“Itu bukan urusan kamu!”

“Dia bisa lebih membencimu, Gani.”

Geraham Argani merapat. “Aku bisa pastikan itu tidak akan terjadi.”

LepasWhere stories live. Discover now