BAB 4

2.6K 484 10
                                    



“Sekarang kita sudah menikah. Rasanya sedikit aneh memanggil suami dengan sebutan nama.” Renjana menaikkan sendoknya yang sudah terisi untuk disuapkan seraya mengangkat pandangan pada sang lawan bicara yang tak sekali pun mengalihkan pandang darinya. Seolah Renjana merupakan pusat dunia lelaki itu.

Argani mengangguk-angguk. Ada sedikit garis senyum di bibirnya yang tampak, pun binar mata antusias yang membuat Renjana berpikir dirinya sudah mengambil langkah yang tepat. Memang sudah saatnya ia mulai mendekatkan dan membiasakan diri sebagai istri. “Jadi, apa sebutan khusus yang cocok menurut kamu untukku?” tanya Argani sembari memasukkan suapan baru.

Renjana balas menatapnya. Ada satu panggilan yang seketika muncul dalam kepala dan dengan spontan ia ucapkan. “Mas?”

Kunyahan Argani terhenti. Sisa senyum di ujung bibirnya menghilang. Keramahan dalam binar matanya sirna, berganti kilat bengis yang detik itu juga membuat Renjana menggigil. Seperti tak asing dengan pandangan itu. Seketika berhasil mengubah suasana makan malam yang mulai hangat, kembali ke titik nol.

Renjana menelan ludah. Apakah dia sudah berbuat salah? Dan kenapa kata Mas yang terucap terasa begitu nyaman di lidah? Seolah dia memang terbiasa melafalkannya jauh sebelum ini. Untuk seseorang entah siapa mengingat ia tidak memiliki kakak laki-laki.

Lebih dari itu, kenapa Argani tampak marah?

Menguatkan pegangan pada gagang sendok yang masih bertahan di udara, Renjana bertanya ragu. “Kamu kelihatan tidak senang dengan panggilan Ma--”

“Aku memang kurang suka,” pungkas Argani, tak membiarkan Renjana menggenapi kalimatnya, seakan benci sekali dengan sebutan tersebut. Tapi, kenapa?

Mas merupakan panggilan hormat, pun cukup manis didengar. Banyak pasangan menggunakan kara itu sebagai sebutan khusus. Tetapi, Renjana memilih tidak mendebat dan hanya berseru oh. Dia sudah bersedia berusaha, yang ternyata salah langkah. Jadi lebih baik diam. Bagaimana pun, sedekat apa pun mereka dulu, kehilangan ingatan membuat Renjana merasa asing dengan Argani. Dengan lingkungan barunya. Dengan dunia ini. Bahkan dengan dirinya sendiri. “Maaf.”

Barangkali sadar reaksinya sudah membikin Renjana tidak nyaman, Argani mendesah. Ia memundurkan punggung. “Tidak perlu repot-repot mencari panggilan khusus untukku. Argani saja sudah cukup, seperti biasanya. Lagi pula tidak sedikit istri yang memanggil suaminya dengan nama dan tidak menjadi soal.”

Renjana hanya mengangguk. Dia sedikit menunduk saat kemudian kembali mengambil suapan baru. Dan memilih diam sepanjang sisa waktu makan malam itu. Argani tahu keadaan mereka kembali dingin, tapi tak melakukan apa pun. Dia bahkan membiarkan Renjana tidur sendirian malam itu dengan alasan banyak pekerjaan yang mesti segera diselesaikan.

Renjana tentu tidak keberatan ditinggal sendiri di kamar. Memang itu yang diinginkan. Tanpa Argani atau siapa pun di sisinya. Entah mengapa ia merasa lebih nyaman dengan diri sendiri. Ada Argani di sampingnya hanya membuat ia merasa tak aman, padahal lelaki itu suaminya.

Suami. Rumah ternyaman untuk istri seharusnya. Tempat berlindung. Tetapi Renjana tidak merasa demikian. Tidak bisa merasa demikian. Argani justru terasa seperti ancaman.

Cara Argani menatapnya terlalu dalam. Orang-orang bilang, itu tanda cinta. Tetapi Renjana merasa bukan begitu, lebih ke ... menguasai. Entah seperti apa hubungan mereka dulu. Bagaimana bisa Renjana kemudian mengambil keputusan untuk menerimanya sebagai pasangan? Memang selalu sedingin ini atau semua terjadi karena dirinya kehilangan ingatan?

Andai semua tanya bisa terjawab dengan mudah. Renjana sudah berusaha sekeras dirinya bisa untuk memaksa otak kembali mengingat. Tetapi gagal. Tak ada bayangan apa pun tentang masa lalu. Sama sekali. Cuma kesal yang kemudian ia dapat. Juga sedikit pusing. Seperti saat ini. Ia berdiri di sisi balkon, menatap jauh ke depan, pada danau buatan di belakang halaman yang airnya tampak gelap tanpa gelombang. Hanya ada pantulan cahaya bulan dan lampu taman. Selain itu ... hampa. Seperti hidupnya. Tak ada yang menarik untuk dinikmati.

LepasWhere stories live. Discover now