21 - Hard Choices

86 9 8
                                    

"Kau terus melihat ponsel, masih memikirkan tentang dominator itu?"

Ashley segera menyuap sepotong ikan salmon mentah begitu Dominick menegur. Di saat yang sama, tangan lainnya mematikan ponsel agar layarnya tidak lagi menampilkan gambar lockscreen. Dia sudah berusaha mengabaikan, tetapi matanya terus tertuju pada benda kecil itu setiap kali bergetar, padahal ketika layarnya menyala, itu hanya pesan pemberitahuan dari pesan grup yang sifatnya tidak terlalu penting.

"Itu refleks." Ashley menyahut sekenanya. Sebanyak apa pun usahanya untuk tetap merasa tenang, dahinya akan berkerut-kerut tanpa disadari. Kabar baiknya, Jeremy tidak lagi mempermasalahkan itu.

"Akhir pekan kau sibuk?"

"Dominick akan pergi ke tempat neneknya, seharusnya aku senggang."

Seperti permintaan Nyonya McCade untuk mengosongkan jadwal akhir pekan Dominick, Ashley langsung melakukannya satu minggu kemudian. Seharusnya itu menjadi jadwal olahraga dan istirahat Dominick, tetapi yang itu bisa dilakukan menyusul. Prioritasnya adalah memenuhi keinginan nenek dari atasannya, atau dirinya akan diteror.

"Seharusnya?" Ada nada tidak mengerti ketika Jeremy menanyakan itu.

Ashley meletakkan secangkir teh hijau tawar dingin yang baru diminumnya ke atas meja. "Nyonya McCade sempat bilang ingin aku ikut agar bisa mengunjungi kebun anggurnya. Tapi aku tahu Dominick bukan orang yang suka kehidupan keluarganya dicampuri, jadi aku tidak berencana ikut."

"Aku setuju. Jadi, kita bisa pergi?"

"Ke mana?"

Ashley berusaha menggali memori tentang rencana apa yang pernah dia buat dengan tetangganya itu. Akan tetapi, tidak satu pun terlintas di kepalanya. Kapasitas otaknya mungkin sedang terlalu penuh hingga tumpah keluar. Yang dia ingat hanya hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan.

Ketika Jeremy meletakkan sumpit dengan wajah merengut, Ashley sadar sudah membuatnya kecewa. Perasaan bersalah yang muncul ini sebetulnya berlebihan, tetapi dia tidak bisa menahannya, apalagi Jeremy sudah banyak membantu.

"Kita berencana ke perkemahan di Sungai Coyote dan menginap satu malam pada akhir pekan. Aku sedih kau melupakannya." Mengambil selembar tisu, Jeremy berpura-pura menyeka sudut mata seakan-akan ada air mata yang mengalir di sana.

"Maaf, kau tahu bagaimana pekerjaanku." Ashley meraih tangan Jeremy agar berhenti bersikap dramatis. Itu menggelikan di matanya.

"Setidaknya kau juga membuat catatan seperti memo-memo agenda Dominick yang ditempel di kamarmu. Tapi tulislah lebih besar."

Ashley meringis karena Jeremy benar tentang itu. Papan tulis di ruangannya di kantor bukan sedang kepenuhan sampai dia memindahkan sisanya ke kamar. Beberapa di antaranya sama persis, tetapi yang di kamar Ashley hanya untuk agenda-agenda harian yang jauh lebih penting. Papan tempelnya juga tidak sebesar yang ada di kantor.

"Bagaimana?" Jeremy bertanya sekali lagi karena Ashley belum merespons ajakannya.

"Oke. Ayo. Aku akan memberi tahu Dominick besok."

Karena ucapan Ashley, Jeremy tidak jadi menyuap kembali Sushi-nya. "Kenapa? Apa dia pacarmu sampai harus berkabar?"

"Tidak. Itu agar dia tidak tiba-tiba menghubungiku dan meminta sesuatu."

"Dia patuh?" Ada nada skeptis di suara Jeremy. Jika mempertimbangkan bagaimana Ashley terus terjebak dengan pria tidak berperasaan itu, maka wajar jika Jeremy terus berpikiran negatif tentangnya.

Ashley menjawab dengan anggukan sebab mulutnya sedang sibuk mengunyah.

"Ternyata dia tidak seburuk itu."

Dare or JomloTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang