Bab 19: Erat

110 16 5
                                    

"Bumi, maaf tapi gue rasa lo cukup berlebihan. Meskipun gue gak tau ada apa antara lo sama Langit, tapi kalau emang lo gak suka, caranya gak harus gini."

•••

Dua buah cangkir berisi teh hangat ditemani satu toples kue-kue an telah mendarat dengan aman diantara dua remaja laki-laki yang hampir tak pernah terpisahkan.

"Tante tinggal dulu ya, Bumi."

"Iya tante, makasih banyak."

Wanita yang sudah lama tidak Bumi lihat wujudnya itu akhirnya pergi dari dalam ruangan petak milik Keita. Jujur, sampai saat ini tak jarang Bumi selalu merasa takjub oleh sosok itu.

"Kei," bisik Bumi. "Nyokap lo udah mah bule ternyata awet muda juga ya? Boleh lah kita sodaraan aja," celetuknya pelan.

"E muka lu gue gampar ya," tembis Keita.

Bumi tertawa kecil. Satu buah candaannya sudah berhasil menyulut emosi satu manusia yang masih terlihat pucat itu.

Keita bilang tak perlu repot-repot mengkhawatirkannya. Ini hanya demam biasa, katanya. Bagaimanapun Bumi agak meringis melihat perawakan sosok berkulit putih yang sekarang cenderung lebih putih pucat itu. Syukurlah, mamanya sedang ada di dekatnya sehingga bisa merawat anak semata wayangnya itu.

Meskipun dari suaranya, Keita tetap tidak menampakkan bahwa dirinya bahagia.

"Gimana? Nobar film horornya seru kah?"

"Seru," jawab Bumi sembari kepalanya menggeleng cepat. Akan dirinya ceritakan sedikit kejadian hari itu, yang karenanya akan membawa adik kakak ini menuju peperangan berikutnya yang tak akan pernah selesai.

"Gita bilang, kali ini gue kelewatan."

"Lo emang udah kelewatan dari awal sih, Mi," ucap Keita yang entah maksudnya berpihak pada siapa. "Tapi gapapa, karena kalo gue jadi lo ya... kurang lebih kelakuan gue juga bakal sama."

Artinya, Keita masih sepenuhnya berada di pihak sohibnya. "Siapa yang sudi orang terdekat lo seolah dirampas sama orang lain gitu aja. Ya~ meskipun tindakan lo emang agak gila dikit, tapi semoga ujungnya kakak lo dapet hikmahnya."

"Kalau lo emang udah merasa tindakan lo bener, ya percaya aja sama diri lo sendiri. Lo yang ngerasain semuanya, lo yang tau mana yang bener mana yang salah," petuah Kei sekali lagi. "Ingat, tipis-tipis aja, Mi."

"Meskipun gue kemusuhan lagi?"

"Meskipun lo cuma punya diri lo sendiri," balas Keita. "Siapa tau memang harusnya begitu. Terkadang kesempatan memberontak tidak datang dua kali."

Kalau begitu, Bumi mengangguk tersenyum. "Sehat-sehat lelaki penghibur."

Kei juga sama menerimanya dengan senyuman. "Kamu juga semangat yah, cowok red flag."

•••

Kira-kira apa yang menjadi alasan mengapa suasana di meja makan kala itu terkesan suram tanpa kehangatan sedikitpun? Apa karena sang kepala keluarga tak hadir disana? Atau karena masih ada sebuah masalah yang membuat keadaan menjadi buruk? Nampaknya, keduanya benar.

Ditengah perang dingin itu, sang kakak tak berhenti mendesak sang adik untuk meminta maaf. Dengan tatapan dinginnya, Langit tak punya niat sedikitpun untuk berhenti sampai Bumi meng-iyakan.

"Enggak!" pekik Bumi. "Gue gak akan minta maaf."

Dahi nya mengerut. "Eh gue gak terima ya! Gara-gara lo Stephanie jadi kenapa-kenapa!"

"Lah gue juga gak terima lo tuduh seenaknya!" balas Bumi tak mau kalah.

Sementara itu sang ibu terkejut melihat kedua anaknya yang saling melempar nada tinggi disaat wanita itu bahkan malah tidak tahu-menahu mengenai hal yang telah terjadi.

Langit dan BumiWhere stories live. Discover now