Bab 17: Wonder

86 11 1
                                    

Hatcihh!!

Bumi lupa, harusnya ia membeli tisu saat pergi ke minimarket rumah sakit barusan. Giliran belum 5 menit tubuhnya direbahkan di sofa, meler nya datang lagi. Biasa, penyakit menuju tahun baru. Bumi tak pernah absen dari flu di bulan desember.

Baru saja jarinya hendak mengetik pesan chat pada mama atau Langit supaya membeli tisu dahulu sebelum naik ke gedung dimana kamar papa berada, ternyata pintu coklat itu telah dibuka duluan.

"Assalamu'alaikum," ucap mama, disusul Langit yang menutup pintu kamar rumah sakit dari belakang.

Asik!- batin si bungsu kala melihat sebuah box berisi satu lusin donat yang mamanya bawa. Mana mungkin si penyuka makanan manis bisa melewatkannya begitu saja.

Papa dan mama sudah mengambil jatah mereka. Kini giliran kedua putra jangkung nya yang berebut roti coklat berbalut coklat yang hanya ada satu-satunya diantara rasa-rasa yang lain dalam box itu.

Eits! Pergerakan si adik lebih cepat. Dengan rasa bangganya ia menjulurkan lidah pada si kakak yang menatapnya sinis.

Bumi kira perebutan ini hanya akan berlangsung sementara seperti biasanya ketika mereka bercanda. Tapi melihat sepasang mata Langit yang dirasa tak pernah mau berpaling menuju sang adik di keheningan itu membuat atmosfer menjadi sedikit aneh.

Se-tidak rela itukah Langit pada sebuah donat coklat yang terlanjur menjadi milik Bumi? Bahkan ketika potongan terakhirnya habis dilahap sekalipun, netra itu masih saja membuat sang adik enggan berkutik.

"Dek, ikut gue ke luar bentar."

~

"Please! Lo balik sekarang, ya?!"

Setelah berjalan-jalan di koridor gedung kanker itu, akhirnya isi kepala si sulung ketahuan juga. Yang awalnya sempat ketar-ketir, Bumi malah berani berkacak pinggang sekarang.

"Atuh dek... Si Boy ilang masa lo gak kasian??" Langit gusar. "Udah dari kemarin-kemarin loh gak balik... Gak tau tidur dimana, gak ada yang ngasih makan, belum lagi kalo ada yang jahatin, sok, gimana?"

"Ya ga gimana-gimana, kan kucing lo," balas Bumi acuh.

"Bumi! Gue serius, ah!"

Mau marah, tapi rasa khawatirnya terlanjur menghantui Langit. Yang ada di pikirannya kali ini hanyalah Boy, Boy, dan si Boy alias kucing kesayangannya.

"Ya udah sok sekarang maunya gimana??" Bumi mencoba mengerti.

"Ya cari lah!" Omel Langit sekali lagi. Tapi kemudian, ekspresinya berubah 180 derajat. "Tapi... Buat sekarang lo aja dulu yang baru cari ya? Nanti gue nyusul abis urusan gue kelar-/"

"Urusan apa? Jangan bilang mau ketemu Stephanie?"

Ekspresi Bumi juga berubah dalam artian dirinya super sebal. Sementara itu, sang kakak hanya berani menunjukkan deretan giginya.

"Ya, dek? Nitip ya pokoknya! Bilangin ke mama, gue berangkat dulu. Lo balik duluan sana, cari si Boy sampe ketemu. Satu lagi! Jangan sampe mama tau kalo Boy ilang, nanti gue ga dibolehin melihara kucing lagi. Bye! Peace! Adios!"

Sosok yang perlahan pergi menjauh itu hanya ditatap nya datar. Bayangkan, sudah berapa banyak kata-kata mutiara yang sang adik simpan.

Fak! Gue yang lagi flu gini tiba-tiba disuruh nyari mahluk cair yang tiba-tiba ilang, sementara yang punyanya malah asik pacaran?!

Tarik napas, buang perlahan. Bumi sedang mencoba untuk sabar. Mungkin, kali ini bukan waktunya untuk memberontak pada sang kakak. Ia akan menunggu hari pembalasannya tiba.

Langit dan BumiWhere stories live. Discover now