Place of the valid purebreds

1 1 0
                                    

Kepalaku membentur bebatuan kerikil, aku refleks mengaduh pelan. Perlahan kuraba kepalaku, lalu kuelus. Tidak begitu sakit. Aku mendongakkan kepala yang tadi terbenam di tanah, tunggu, kenapa jadi tanah? Kulihat pemandangan sekitarku.

Hey? Tempat macam apa ini?

Langit yang bernuansa ungu dengan semburat merah di seluruh penjuru horizon, awan² kelabu yang mengarak di sisi barat, menurut perkiraanku, dan padang pasir tandus yang terbentang seluas mata memandang tanpa ada apa² yang menghiasinya, kecuali 2 tebing tegak raksasa yang membentang di sisi timur, sisi dimana aku menghadap sekarang. Sisanya merupakan kabut, yang membuat sisi lainnya tidak terlihat begitu jelas, hanya bentangan padang tandus dengan pasir kemerahan.

Pria berjubah berdiri tegak di sampingku, menungguku bangkit dengan tatapan dinginnya. Aku pun berinisiatif untuk bangkit.
"tempat apa ini?" aku bertanya dengan nafas yang tersengal.
Pria itu tidak menjawab apa², ia hanya membenarkan posisi masker dan menyeka poninya, tidak lebih.
Aku menghela nafas, pria ini tidak suka diajak bicara.

"mana benda tadi?" pria itu tiba² bertanya saat aku tidak menduga, aku agak terkejut.
Aku melirik benda yang dari tadi kugenggam.
Belum aku menjawab sepatah kata pun, pria itu mengangguk mengerti.

Ia menjentikkan jari, seketika pemandangan disekitar berubah drastis. Mungkin ia melakukan teleportasi instan, aku tidak tahu hal itu benaran berfungsi di dunia nyata.

Lupakan padang tandus dengan tebing tegak menjulang, sekarang kita berada di sebuah tempat yang jauh lebih rimbun... Yeah, dibandingkan dengan dunia biasa kami ya.. Tetap saja tempat ini tergolong tandus.

Pohon² kering tanpa daun, ranting² kering menggantikan dedaunan yang tidak ada. Langitnya masih sama, ungu dengan semburat merah, juga awan² kelabunya... Masih dengan kabut yang menyelimuti seluruh sisi. Dan bulan sabit raksasa yang membuatku terkejut setengah mati, bagaimana bulan itu bisa menjadi sebesar ini? Ini bahkan melanggar hukum alam!
Aku melihat benda yang kugenggam dari tadi, untunglah masih ada. Pria itu tidak perlu bertanya lagi, ia sudah melihatnya langsung.

"kita dimana?"

Pria berjubah itu tidak menjawab apa², ia malah memberikan kode untuk mengikutinya.
Aku makin terheran.
"hey, kita mau kemana?"
Peia iu hanya menanggapi pertanyaanku dengan hendikkan bahu sambil terus berjalan maju. Aku pasrah, mengikutinya dari belakang.

Pria berjubah itu menyeka sebuah batu yang ditutupi oleh lumut dan tanaman rambat. Ia menyentuh bagian tengah batu tersebut.
Seketika, beberapa batuan kerikil yang berjajar-baru saja tadi aku menanyakan mengapa bebatuan kerikil itu berjejer seperti membuat jalur- memendarkan cahayanya, seperti menunjukkan suatu jalan ke tempat tertentu.

Aku bengong melihat keanehan itu.
Si pria berjubah menoleh ke arah ku, tangannya lagi² membuat kode agar aku mengikutinya dari belakang. Ia berjalan menyusuri jalur kerikil yang bersinar. Akku melihat kebelakang. Setelah aku melangkahkan kaki, cahaya kerikil yang telah dilalui padam dengan sendirinya.
Sepertinya ini sebuah jalan ke suatu tempat rahasia.

Kita berdua menaiki bukit, menuruninya, lalu mendaki bukit lainnya. Saat melewati suatu turunan, aku melihat ada bangunan megah di kejauhan sana, agak dihalangi kabut. Kukira kita akan pergi menuju ke arah dimana bangunan itu berada, tetapi aku ternyata keliru.

Pria itu berhenti tepat ditempat jalur kerikil itu berhenti. Ia menghentakkan kaki kirinya. Aku menganga takjub. Tanah perlahan merekah, menampilkan sebuah jalan turun didalamnya. Pria itu tanpa basa basi langsung turun kebawah. Aku pun mengikutinya.
Setelah sekian menit berjalan, jalan menurun itu digantikan oleh gua dengan stalaktit dan beberapa stalagmit yang menghiasi gua. Yang membuatku tercengang adalah stalaktit dan stalagmit tersebut bukanlah seperti yang biasa, melainkan mereka adalah kristal² yang tumbuh didalam gua. Cahayanya berpendar menbuat penerangan alami.

Aku menatap si pria berjubah. Wajah datarnya tidak berubah, dapat dilihat dari matanya. Ia masih mengenakan masker. Pria itu terus berjalan kedepan, hingga ia berhenti persis didepan stalagmit kristal masif yang sedikit menghalangi jalan.

"oh"
Aku menoleh kearah pria iu yang akhirnya mengucapkan sepatah kata 'oh'
"kenapa?" alisku mengerut.
"lupakan" ia melambaikan tangannya, tidak jadi berucap.

Pria itu menatapku.
"kamu keturunan immortal?" tanya pria berjubah dengan suara beratnya.
Aku menatapnya dengan tatapan tidak mengerti.
Pria itu meraih tanganku, lalu berjabat tangan. Aku masih mengernyitkan alis.

Tangan pria itu berpindah menuju ke pucuk stalagmit kristal, menekan bagian atasnya yang berbentuk segi delapan. Ditengah² kristal tersebut terdapat ukiran yang berbentuk seperti belah ketupat. Seketika setelah pria itu menekan bagian tengah kristal, tanah disekitar kami bergetar hebat, memutar turun kebawah. Aku refleks berpegangan pada kristal, hampir kehilangan keseimbangan.
Pria berjubah hanya melipat tangan di dada, berlagak santai tanpa oleng sedikit pun.

BRAK!!
Tanah yang turun sudah sampai pada dasarnya. Di sekitar kami terdapat dinding kristal bening.
Pria berjubah melangkah maju, lalu mengetuk salah satu sisi dari kedelapan sisi kristal.

Sisi iu membuka seperti pintu, lalu pria berjubah itu berjalan melaluinya. Tanpa berpikir apa², aku langsung mengikutinya dari belakang.

Sungguh hal yang tak terduga! Ada ruangan megah dibawah tanah.
Aku berdiri didepan stalagmit raksasa yang mungkin berfungsi sebagai 'lift'. Memiliki delapan sisi, masing² darinya menghadap satu lorong.

Pria itu terkekeh melihat diriku yang kebingungan.
"sebelum kamu bertanya lagi, ayo ku jawab seluruh pertanyaan mu" pria menepuk bahuku sambil melepas maskernya.

Wajahnya bersih dan... Tampan.
Aku agak terpesona oleh ketampanan wajahnya.
Juga agak familiar dengan wajahnya.

Ia berjalan memutari stalagmit kristal raksasa itu. Setiap sisi memiliki warna yang berbeda.
Sisi yang pria itu tuju memiliki warna
Biru keunguan.
Ia menyuruhku jalan duluan, tangan kirinya mendorong punggungku agar aku maju. Aku pun terpaksa memasuki lorong tersebut.

Pria itu menepuk bahuku lagi.
"coba lihat kaca mozaik itu" bisiknya.
Aku menuruti perintahnya, kudongakkan kepalaku agar bisa melihat keseluruhannya.

Ibu? Mengapa ada potret ibu dengan kaca mozaik disini?

Pria itu seolah mengerti maksud dari tatapan keherananku.
Apa pria ini mengenali ibu? Dia bahkan menatapnya tanpa berkedip. Sekilas dia juga mirip ibu dengan rambut biru dan mata ungunya. Juga kulit kebiruannya.

"kenapa?" aku berkata pelan.
"apakah kamu tidak tahu maksud mengapa aku membawamu kesini?" tanya pria itu balik.
Dahiku berkerut. Mengapa ia bertanya balik?
Pria itu menunjuk sebuah kristal datar dengan pahatan membentuk suatu aksara yang aku tak kenali.
"tempat ini sama saja seperti rekaman sejarah kehidupan para keturunan murni, apa kamu tidak tahu?"
Aku menatap pria itu, masih kebingungan. Keturunan murni dari apa? Siapa saja? Mengapa ada delapan lorong, apa mereka memiliki nenek moyang yang berbeda? Mengapa ada mozaik ibuku disini?

"cih. Masa kamu tidak diberitahu ibumu sih?" pria itu seperti tidak suka ketika melihatku terdiam kebingungan. Hal ini memang membingungkan.

Pria itu menunjuk dadaku, yaampun, kenapa dadaku? Aku segera melirik kebawah.
Pantas saja ada hal yang janggal.

The Truth of AnsylliansWhere stories live. Discover now