22. Life Goes On

86 11 1
                                    

Chimon selalu suka hujan. Bagaimana rintik-rintik itu menyentuh bumi kering, bagaimana petrichor yang menenangkan menyapa hidung, bagaimana bisingnya hujan, Chimon menyukai itu semua. Namun sayang kali ini kesukaannya itu telah merenggut separuh jiwanya, membawa separuh hidupnya. Lalu bagaimana setelah ini? Apakah hujan masih akan menjadi bagian favoritenya?

Pelan-pelan matanya terbuka, menatap langit-langit kamar yang tidak asing baginya. Kepalanya berat bagai tertimpa beban berpuluh-puluh kilo, nafasnya berat juga matanya yang sembab. Suara bising hujan digantikan dengan lantunan kidung puji-pujian dan penghiburan yang bergema di setiap sudut rumah ini, membuat Chimon kembali sadar pada dunia mana dia berpijak.

Sekarang hujan sudah berhenti namun kesedihan Chimon makin deras saja.

"Udah bangun sayang?" Suara itu, suara itu tiba-tiba saja menariknya kembali pada kesadarannya. Cepat-cepat dia bangkit dari nyamannya mencari suara yang baru saja menyapa indra pendengarannya. Namun tidak ada yang dia temui, kamar ini kosong hanya ada dia di dalam. Matanya menatap pigura di samping ranjang di atas nakas yang bersandar pada lampu tidur, setelah benar-benar tersadar dia lagi-lagi menangis, meraung memanggil-manggil nama Purim.

Setelan hitam yang dia pakai pun sudah lecek saking gelisahnya dia dari tadi. Melihat dirinya sendiri memakai pakaian hitam, dia semakin meraung, kembali tertampar fakta bahwa Purim benar-benar telah meninggalkannya. Nafas terengah, tubuhnya kian bergetar hebat, di tambah dengan air mata yang sialnya tidak hendak berhenti mengalir menambah sembab.

Sudah tiga hari sejak kejadian itu, dan hari ini adalah hari terakhir dia akan melihat Purim. Chimon tidak pernah menangis, bahkan saat peti putih Purim sampai di kediaman Vihokratana dia pun tidak menangis. Dia tidak menangis saat ibadah penghiburan, dia tidak menangis saat semua orang menangis. Dia tidak menangis saat pertama kali melihat Purim yang sudah terbujur dingin di rumah sakit dengan luka-luka di sekujur tubuhnya.

Namun saat tadi peti itu di tutup, dia meraung-raung. Dia menangis sejadi-jadinya, memarahi semua orang yang berusaha menutup peti itu. Akhirnya dia tumbang, dia pingsan dan berakhir di kamar Purim sekarang.

"ABANG!"
"CHI MAU ABANG."

Suaranya menggema di kamar itu, dari balik pintu muncul Nanon dengan muka yang sama berantakannya. Nanon setia menemaninya, padahal dirinya juga sedang berusaha tegar.

"Chi?" Nanon berlari menghampiri Chimon yang sedang kacau di ranjang itu. Dia peluk Chimon yang meronta-ronta. Membisikkan kata-kata penguat yang hanya mereka berdua pahami, sebuah kebiasaan sedari kecil yang mereka terapkan hingga dewasa kini menyapa.
Tawan muncul setelahnya, dia masuk menemukan anak bungsunya dan calon menantunya itu saling berpelukan menangis tersedu-sedu.

"Nanon, Chimon." Tawan menghampiri memeluk keduanya.
"Kita turun yuk sayang, ibadahnya sudah mau selesai. Sebentar lagi kita antar Abang ke rumah barunya." Dengan sedikit bantuan, akhirnya Chimon bangkit dari kasur itu.

Mereka bertiga menuruni tangga menuju ruang tamu kediaman Vihokratana yang luas. Banyak sekali orang berkumpul, bahkan tenda-tenda di luar rumah pun penuh. Berbagai karangan bunga belasungkawa menghiasi kediaman itu mulai dari pagar rumah sampai di bagian dalam rumah, sungguh banyak yang ikut bersedih bersama keluarga ini.

Pigura di atas peti putih itu yang pertama kali tertangkap oleh mata Chimon. Senyum Purim yang selalu menenangkan. Di antara banyaknya orang di situ, Chimon berjalan mendekati peti putih itu kemudian duduk di sampingnya. Chimon sudah tidak menangis, dia hanya duduk diam di situ, tangannya perlahan menggapai pigura Purim, kemudian memeluknya.

🥀🥀🥀


Di barisan paling belakang, ada Perth dan Pawat yang sebenarnya sudah datang dari tadi bahkan mereka mengikuti prosesi ibadah mulai dari awal. Perth melihat bagaimana Chimon diam saja, bagaimana pedihnya lelaki itu meraung kala peti Purim akan ditutup, dia melihat bagaimana Chimon jatuh tidak sadarkan diri, dan sekarang dia melihat Chimon yang diam tanpa ekspresi apapun sedang memeluk foto Purim di pangkuannya. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Tidak ada. Dia sadar, dia bukan siapa-siapa di sini, dia hanya sekedar rekan kerja Nanon dan Chimon.

"Kita ikut pemakaman? Atau mau pulang aja abis ini?" Pawat menyenggol pelan lengan Perth yang berada di sampingnya.

"Ikut aja. Udah terlanjur." Jawab Perth, Pawat hanya mengangguk mengiyakan.

Tidak berselang lama segala rangkaian ibadah penghiburan selesai dan waktunya untuk mengantar Purim menuju ke tempat peristirahatannya.

🥀🥀🥀

Taburan bunga merah dan putih menghiasi makam itu, bagaimana setiap taburannya diiringi doa, satu persatu pelayat meninggalkan area makam.
Namtan masih di situ, mengusap lembut nisan sang sulung, belum siap berpisah. Di depannya ada Chimon yang juga masih setia duduk, hanya diam memandangi tumpukan tanah.

"Ayo Bunda, kita pulang." Frank menggapai lengan sang Bunda, berusaha untuk membantu wanita paru baya itu untuk bangkit dari duduknya.
Tawan segera merengkuh istrinya, dan berlalu meninggalkan area itu dengan mencoba ikhlas.

Jumpol dan Milda juga sudah tidak kuat melihat anak bungsunya yang bagaikan kehilangan harapan hidupnya.

"Chimon sayang, kita juga pulang yuk." Jumpol ikut berjongkok, mengucapkan selamat tinggal pada Purim dan membawa Chimon serta istrinya berlalu dari sana.

Entah bagaimana hidup setelah ini. Chimon sudah kehilangan satu alasannya untuk meniti masa depan. Bahagia yang pernah dia idam-idamkan nyatanya kini sudah selesia. Cintanya kali ini benar-benar mengikatnya sampai dia sesak sendiri. Apa dia bisa bahagia tanpa Purim? Tanpa Purim, bahkan dua kata itu sekarang terdengat menakutkan baginya. Dia tidak berani membayangkan masa depannya jika tidak ada Purim di sana. Untuk apa kan?

Tapi bagaimana pun juga hidup harus terus berjalan. Mereka yang telah pergi itu sudah menyelesaikan pertandingannya di dunia.

Perjalanan kembali ke kediaman Adulkittiporn sore itu hanya diisi dengan keheningan.

🥀🥀🥀

Beberapa hari kemudian.

Pagi itu Chimon keluar dari kamarnya dengan pakaian yang sudah rapih, tidak lupa helm putihnya dia apit diantara pinggang dan lengannya.

"Loh sayang? Kamu mau kemana nak?" Milda kaget melihat sang bungsu yang beberapa hari lalu masih tampak seperti mayat hidup, kini sudah mau keluar kamar bahkan sudah ada rona kehidupan di wajahnya.

"Kerja dong Mami, Chimon udah hampir dua minggu ninggalin proyek." Jawab Chimon sambil mencomot roti bakar yang ada di atas meja makan.

"Tapi, kamu oke kan sayang? Yakin udah mau kerja?" Milda tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.

"Yakin Mami."

Mix yang masih menginap di rumah itu pun keluar dari kamarnya mendengar percakapan Mami dan adiknya.

"Sama siapa Chi ke proyek? Nanon?" Tanya Mix sambil mengambil tempat duduk di meja makan tersebut.

"Iya bang, nanti ada Nanon juga di sana tapi hari ini Chi berangkat sendiri, nyetir. Bahkan dia udah masuk kerja dari dua hari yang lalu. Keterlaluan memang si Wan itu. Bisa-bisanya dia gak ada ngabarin Chi. Chi taunya dari absensi harian loh ini dia ternyata udah masuk."

Milda tersenyum menghampiri anaknya, diusapnya lembut kepala sang bungku kemudian memeluknya erat, "Anak Mami kuat banget. Makasih yah sudah bertahan, Mami gak larang Chi kalau masih mau berkabung kok, take your time sayang."

"Iya Mami, Chi sudah lebih baik. Bagaimanapun kan life goes on. Mereka yang pergi lebih dulu biar jadi pendoa bagi kita. Chi percaya kok Abang liat bagaimana Chi dari atas sana dan Chi tidak mau membuat Abang sedih. Jadi Chi harus menjalani hidup sebaik mungkin, karena Chi percaya Abang juga gak mau lihat Chi sedih."

Mix bangkit dari duduknya dan ikut memeluk Mami dan sang adik, "Adek Abang Mix udah gede."

"Iya sayang, Chi benar. Life goes on." Kata Milda, lembut menyapa telinga Chimon.

🥀🥀🥀

Author Notes:
Maaf yah ternyata kesibukan di real life gak bisa ditinggalkan makanya updatenya lama. 🙇‍♀️



Let Me BeWhere stories live. Discover now