17. Seandainya

78 11 4
                                    

Beberapa hari kemudian

"Halo selamat siang mantu Bunda," Ada semburat merah yang muncul di pipi Chimon kala menerima panggilan dari Namtan siang itu.

"Halo Bunda, ada apa nih ?"

"Bunda baru pulang dari butik om Arm, tapi katanya kamu sama si Abang belum fitting-fitting juga sampai hari ini."

Chimon menepuk dahinya, dia sungguh lupa.

"Aduh, iya lagi Bun. Chimon belum ngomong sama Abang."

"Diusahakan cepat-cepat yah anakku. Acara kalian tinggal menghitung hari loh ini."

"Iya Bunda, nanti Chi kabarin Abang yah. Sekalian sama Mami Papi."

"Justru Mami, Papi sama kakak-kakak kamu udah beres semua."

"Ha ? Iya Bun ?"

"Iya sayang, makanya kamu cepet cari waktu sama Abang. Ini fitting terakhir."

"Hmm iya Bunda, makasih yah sudah diingatkan."

"Iya sayang, sama-sama." Dan sambungan telpon pun terputus.

"Bunda ? Tante Mild yah ?" Tanya Perth yang duduk di samping Chimon sedari tadi.

Iya, sekarang Perth sudah mulai beraktivitas seperti semula. Meskipun kemana-mana dia memakai penyangga di tangan kirinya yang terluka.

Malam saat dia masuk UGD ternyata dia dianjurkan rawat jalan saja, dia hanya perlu datang sering-sering untuk mengganti perban dan membersihkan lukanya.

"Ohh bukan. Ini Bundanya Nanon." Jawab Chimon sambil memakan cemilan yang disediakan Perth. Iya, Chimon sedang berada di lokasi proyek bersama Perth.

"Ohh gitu. Kenapa katanya ? Kok serius banget ?"

Chimon melirik sekilas pada Perth, kemudian menghembuskan nafas panjang. "Bunda nyuruh gue sama Abang fitting di butik langganannya."

"Abangnya Nanon ?"

"Iya, Abang Purim. Lo masih ingat kan ?"

"Iya, dia sering bantuin kita belajar menjelang ujian nasional dulu."

Sejenak mereka terdiam, kemudian dengan sisa-sisa penasarannya Perth kembali bertanya.

"Emang mau ada acara apa ?"

"Ohh itu, minggu ini gue sama Bang Purim tunangan. Lo dateng yah. Sekalian nih gue undang hehe." Sebenarnya Chimon tidak begitu perduli, namun tidak ada salahnya kan mengundang teman lama ?

"Tu-tunangan ?" Entah kenapa suara Perth seperti tercekat, seakan ada beban di korongkongannya yang membuat dia sulit untuk bicara.

"Iya, dateng yah. Nanti gue kabarin deh. Oh yah, sekalian ajak Pawat." Semua Chimon ucapkan dengan tenang, berbanding terbalik dengan Perth.

Langitnya runtuh, kecil-kecil harapannya sudah hilang. Apa yang sebenarnya dia cari ? Katanya cukup dengan bisa kembali berteman, nyatanya manusia memang tempatnya serakah. Namun apadaya, hidup memang harus terus berjalan, bodoh saja jika Chimon masih mau dengannya, jelas-jelas di masa lalu dia melewatkan orang itu. Sesal tak kan ada arti lagi, harusnya Perth ikut bahagia sekarang karena sedikit banyak Tuhan menjawab doa-doanya.

Tuhan, semoga Chimon bertemu dengan orang yang bisa membuatnya bahagia dan tentunya lebih baik dariku.

Iya, harusnya Perth bersyukur.

"Apon ?"

"Eh iya Chimon. Se-selamat yah. Waaa gue gak nyangka lo sama bang Purim hehe. Gue ikut senang."

Let Me BeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang