Extra | Cakra's Story 6

17 3 0
                                    

6

Malam itu, Cakra memutuskan mengakhiri perdebatannya dengan Shaidan. Ia punya rencana, dan ia berpura-pura menuruti semua keinginan Shaidan. Tepat saat waktu telah menunjukkan lewat tengah malam, Cakra mengambil satu ransel yang telah ia siapkan sebelumnya. Berisi pakaian dan beberapa makanan serta uang seadanya. Cakra melirik pada Shaidan yang terlelap di ruang tengah, dan ia menyelinap pergi dari jendela kamarnya.

Dini hari, di Pandawa tidak ada bis kota yang beroperasi. Maka, Cakrawala Corrado Djahrir memutuskan untuk berlari.

Mengandalkan kemampuan kedua kakinya, Cakra bergerak dengan cepat ke utara Pandawa. Kawasan yang sepi penduduk. Kawasan di mana Ayahnya bersembunyi. Dan ia yakin, Zavier pasti menahan Helios di salah satu bangunan yang ada di sana.

Meskipun Cakra tidak tahu pasti apakah tebakannya benar, ia tidak peduli, yang ia pikirkan hanyalah berada di Desa Bima sebelum matahari terbit. Lokasi Helios? Ia bisa mencarinya nanti.

Perjalanan dari pusat Kota Pandawa ke ujung pulau, ke sebuah desa bernama Desa Bima memakan waktu tiga hingga empat jam menggunakan kendaraan umum. Cakra memasuki gerbang utama yang terlihat kacau tepat pukul enam pagi.

Ia memutuskan berhenti sejenak. Menarik napas. Ia sudah berlari dan berjalan semalaman penuh hanya mengandalkan kedua kakinya dan satu botol air minum. Ia duduk di bebatuan hitam yang disekelilingnya dipenuhi oleh ilalang. Wajahnya pucat, menandakan ia kelelahan. Tapi Cakra tidak mau menyerah. Jika ia pingsan di sini, anak buah Ayahnya pasti akan menemukannya.

Maka, Cakra membulatkan tekad, ia melangkah lagi, perlahan, satu demi satu langkah menyusuri jalan setapak. Ia tidak mau melewati jalan yang biasanya dilalui penjaga-penjaga Ayahnya. Cakra memilih memutar, masuk ke hutan, berniat mencari tempat lebih tinggi agar bisa bersembunyi dan melihat tata letak Desa Bima dengan lebih baik.

Waktu menunjukkan pukul sembilan siang saat Cakra tiba di hutan. Ia melihat sekeliling. Tak ada aktivitas apapun, tapi ia tetap menunggu. Berharap-harap cemas.

Dan sepuluh menit setelahnya, tebakannya benar. Anak laki-laki itu melihat motor anak buah Ayahnya datang dari kejauhan, melewati satu bangunan pabrik terbengkalai, dan berbelok ke sebuah gapura kecil. Ia yakin, Helios pasti ada di sana. Zavier mengurungnya di satu-satunya bangunan kecil yang masih berdiri di sekitar sana, tempat yang tak jauh dari laut.

Dengan senyum sumringah, Cakra merebahkan diri hanya beralaskan baju kaos miliknya. Ia menarik napas panjang. Bertahanlah Helios, aku akan menyelamatkanmu. Membayangkan ia dan Helios menghajar semua bawahan Zavier membuat Cakra terkekeh pelan. Semoga saja hari itu segera tiba. Ia akan membawa Helios pergi sejauh mungkin, mencoba meminta maaf padanya, dan mungkin mereka bisa berteman kembali.

Bayangan itu membuat Cakra mulai menutup mata. Ia tidak beristirahat semalaman. Dengan ditemani suara burung berkicau dan semilir angin menyejukkan, Cakra mulai tertidur.

***

"Apa cita-citamu?" Panji Julian Djahrir, tiga belas tahun, bertanya pada saudara kembarnya. Bocah itu duduk di ranjang susun sembari memperhatikan sebuah buku cerita di genggamannya.

Lalu, sebuah suara menjawab, "Pilot. Dokter. Profesor. Banyak sekali."

"Tidak boleh. Cita-cita itu harus satu," sanggahnya.

Saudaranya tertawa, "Memang."

"Lalu apa cita-citamu, Cakra?" Panji bertanya, mulai tidak sabar.

Cakrawala Corrado Djahrir, ia bocah tiga belas tahun yang merebahkan tubuhnya di lantai tanpa alas. Kamar kecil mereka berdua. Ia melihat langit-langit kamar yang polos, tak dihias. Dan ia tersenyum kecil.

Voler Haut | Haechan X RyujinWhere stories live. Discover now