17

39 9 1
                                    

"Kalian harus datang." Begitulah setidaknya pesan yang disampaikan oleh Rhae ketika menemui Jaevano di depan gerbang Universitas Pandawa. Wanita itu tidak akan perlu repot-repot menemuinya tanpa pemberitahuan jika itu tidak mendadak. Maka, Jaevano tahu hal ini berhubungan dengan Helios, dan apapun itu, pasti sangat mendesak.

Anggota Komunitas Maerda sudah berada di Kepolisian Pandawa. Di ruangan Rhae yang cukup luas, mereka mendengarkan dengan baik penjelasan-penjelasan yang dilontarkan tanpa menyela. Dan dari semua informasi tersebut, mereka hanya sampai pada satu kesimpulan.

Mark berkata, lirih, "Mereka bersembunyi di Desa Bima. Dan Helios pasti ada di sana."

Rhae mengangguk. "Aku akan segera menyiapkan pasukanku. Bagaimana pun, ini sudah hampir satu tahun. Aku akan berusaha membawa pulang teman kalian dengan selamat."

Ada harapan.

***

Telinganya berdenging. Kali ini cukup parah karena Helios hampir tidak mendengar apapun selama bermenit-menit. Indera pendengarannya sepertinya rusak—atau itu memang telah hancur. Helios duduk di sebuah bak mandi tanpa secarik kain menutupi pusarnya hingga ke kepala. Ia hanya mengenakan celana pendek usang. Wajahnya sudah babak belur karena Helios tidak bisa lagi menoleh. Berbicara saja sudah menyakitinya sebegitu besarnya.

Guyuran air kembali membuat tubuhnya mengigil.

"Aku selalu berpikir, sandera sepertimu harus berterima kasih atas mandi gratis dengan air es yang kuberikan dengan murah hati." Zavier kembali menarik rambut gelap Helios dan mendorong kepalanya hingga jauh ke dalam air. Membiarkan Helios meliuk-liuk mencoba keluar untuk bernapas. Zavier membiarkannya di dalam sana hingga setidaknya hampir tiga menit. Baru ia mengeluarkan Helios dan meninjunya untuk terakhir kali.

Kini, Helios berada di tempatnya semula. Ruang kumuh. Ruang tempat Zavier membiarkannya dalam keadaan kering. Dan tidak disetrum.

Pria menyeramkan itu mendekat. "Bagaimana kabarmu?"

Helios mendesis.

"Jawab pertanyaanku kalau kau mau hidup."

Hidup? Helios bahkan tidak tahu apakah tubuhnya sekarang bisa dikatakan hidup. Sudah berapa lama ia di sini? Delapan bulan? Satu tahun? Entahlah. Semuanya terasa kabur. Helios tak lagi bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang ilusi semata. Semuanya seakan bercampur menjadi satu di matanya.

Ia bahkan telah berhalusinasi. Sangat parah.

Zavier menendangnya. "Bagaimana rasanya mendapat pengikut? Mendapat dukungan dari orang terdekatmu? Oh ayolah jangan bersikap tolol. Aku tahu siapa yang setiap malam datang untuk memberimu setetes air minum. Aku tahu siapa yang mencuri makanan tentaraku untuk diberikan padamu. Siapa yang setiap malam hadir di ruangan ini dan mencoba membuat ikatanmu sedikit mengendur. Cakrawala. Shaidan. Dua orang tolol itu akan menemui ajal mereka."

Mata Helios memicing, "Jangan. Jangan lukai mereka."

"Pengkhianat."

Helios kembali berusaha berbicara meski bibir robeknya semakin menyakitinya. "Kau fokus saja padaku. Mereka tidak benar-benar menghiburku, kau lihat? Jika mereka berkhianat, aku pasti sudah bebas berbulan-bulan yang lalu. Jangan bodoh."

Sejenak, senyum Zavier melunak. Menjadi kembali penuh eskpresi. "Yah kau benar. Tidak sekarang." Dia mendekat ke arah Helios terduduk. "Aku selalu penasaran. Kenapa kalian sangat membenci Wali Kota Pandawa?"

"Apa kau sebegitu bodohnya sehingga jawaban masuk akal tak pernah terpikirkan?" balas Helios.

Zavier membuat sekujur tubuh Helios kembali nyeri karena satu tendangan keras di rusuk. "Jawab yang benar seperti anjing yang baik, Helios Romanov."

Voler Haut | Haechan X RyujinWhere stories live. Discover now