Ini Chapter 44

36 1 2
                                    

Masa perkuliahan tidak ada yang mudah, terutama bagi dia yang sejatinya ogah-ogahan kuliahnya, seperti Alan. Fisiknya berada di dalam kelas sedangkan pikiran dan jiwanya berada di tempat lain di mana dia bisa bersenang-senang. Entah itu dengan bermain game sampai menjelang pagi, minum-minuman beralkohol sampai mabuk, atau menonton balapan liar yang memacu adrenalinnya, dan atau yang paling sering dia lakukan akhir-akhir ini, yaitu bermain kartu dengan uang taruhan.

Alan sudah berusaha untuk fokus pada pendidikannya dan tidak tergoda dengan segala macam kenikmatan itu namun dia selalu gagal dan akhirnya menuruti nafsunya untuk meninggalkan kelas dan pergi untuk bersenang-senang bahkan, walaupun Alan tahu konsekuensi dari perbuatannya tersebut adalah nilainya akan jadi jelek, dia akan ketinggalan pelajaran dan mungkin harus mengulang di kelas yang sama. Padahal Alan sudah berjanji untuk wisuda tepat waktu pada papa dan mamanya, juga Ajeng, tapi kalau cara belajarnya seperti itu terus-menerus maka sepertinya mustahil memenuhi janji itu pada keluarganya.

Hal ini mungkin adalah akibat dari kerinduan Alan akan kebebasan setelah tinggal di kampung hampir setahun dan seolah terkekang di sana. Atau bisa juga, memang sifat Alan seperti itu. Dengan atau tidak dia di bawa ke kampung, cowok itu akan tetap menyia-nyiakan waktunya di masa kuliahnya dengan bermain-main terus terusan.

Ketika dia akhirnya terlilit hutang dan Ajeng lah yang harus membayar hutang itu dengan uang pinjaman dari Alayahnya, Alan merasa sangat malu dan menyukai diri bahwa dia harus berubah, dia pun bertekad untuk tidak bolos kuliah lagi dan memperbaiki semua nilainya karena saat ini hanya itulah cara satu-satunya bagi dirinya untuk membalas budi kebaikan istri dan mertuanya.

Berkat tekadnya yang sudah bulat Alan benar-benar menjadi sosok yang lebih baik, tidak ada lagi bolos, tidak ada lagi pulang telat ke rumah, dan tidak ada lagi yang namanya bersenang-senang di luar.

Hal ini membuat teman dekat Alan, Boy, keheranan.

"Kata gue sih lo kesambet, soalnya tumben-tumbenan lo gak mau gue aja nongki," kata Boy suatu hari.

"Gue mau fokus kuliah, itu aja. Kalau nongki mulu, kuliah gue nantinya amburadul."

"Tenang aja sih kata gue. Kita baru masuk juga. Perbaikan nilainya nanti-nanti aja. Sekarang kita enjoy dulu lah. Kan kata lo sendiri, lo butuh banyak waktu buat seneng-seneng soalnya pas di kampung lo di kekang."

Pada Boy, Alan memang telah menceritakan tentang rasa frustasinya saat berada di kampung dan saat itu juga Boy langsung menawarkan segudang kegiatan yang menurutnya menyenangkan dan dapat membuat Alan bahagia kembali.

"Gue gak mau terlambat wisuda. Biar abis itu bisa langsung kerja supaya gak ngebebanin bokap nyokap mulu."

"Hadeuh … kasian amat sih lo, masih muda udah mikir begituan. Padahal masa muda tuh harusnya di nikmati dengan ngelakuin hal yang bikin happy."

"Lo kan tahu sendiri gue udah nikah … gak heran lah gue mikir hal beginian," kata Alan lesu.

"Lagian lo tolol, main gak pake pengaman. Seandainya lo mainnya aman, hidup lo gak akan sesusah sekarang ini."

Alan mengakui bahwa ucapan Boy ada benarnya. Setelah menikah dengan Ajeng, Alan memang merasa lebih sering uring-uringan karena memikirkan berbagai macam hal. Paling sering adalah bagaimana caranya ia dapat menghasilkan uang untuknya dan Ajeng agar bisa hidup mandiri tanpa ditopang oleh orang tua mereka.

"Mau gimana lagi sekarang, udah terlanjur." Kadangkala, Alan berharap apa yang terjadi antara dirinya dengan Ajeng hanyalah sebuah mimpi buruk agar kebebasan masa mudanya tidak terenggut namun dia tahu itu tidak mungkin dan akhirnya memilih pasrah saja.

Cukup lama Alan dan Boy saling diam setelah pembicaraan itu, lalu seolah telah memikirkan semuanya dengan matang, Boy berkata, "Oke, jadi gini, sebenarnya gue punya kerjaan …."

"Maksud lo apa ngomongin kerjaan sama gue? Mau ngeledek?" tanya Alan yang tersinggung.

"Bukan gitu anjing! Gue mau ngasih lo tawaran kerja. Gimana, mau gak?"

"Oh… kerjaan apaan?!" tanya Alan dengan antusias.

"Jadi tukang antar paket."

"Widih, berapaan gajinya sebulan?"

Boy menggeleng. "Bukan perbulan, tapi per paket yang lo antar."

"Hah? Gue pikir tukang paket di gaji perbulan, kok lo beda sih?"

"Ya, barang yang gue anterin ini beda, makanya cara nge-gajinya juga beda."

"Beda, beda, emangnya paket apaan yang lo anter?!"

Sebelum menjawab, Boy celingak-celinguk, memastikan benar-benar tidak ada sesiapapun di sekitar dirinya dan Alan saat ini. Boy tak mau siapapun mendengar jawabannya untuk pertanyaan Alan barusan. Lalu setelah yakin keadaan aman, Boy pun berkata dengan lirih, "Narkoba."

Kamu bilang, kamu cinta sama akuWhere stories live. Discover now