Ini Chapter 47

118 4 0
                                    

"Air ketuban milik Ajeng sangatlah sedikit. Yang mana membuat bayi dalam kandungannya kesulitan bernapas. Seandainya Ajeng sering mengecek kondisi kehamilannya, dokter bisa mengetahui masalah ini dan Ajeng bisa segera melahirkan dalam rangka menyelamatkan nyawa si jabang bayi.

Lalu, seperti yang sudah kita ketahui bersama, entah bagaimana Ajeng mengalami sebuah insiden yang membuat perutnya terbentur dengan keras dan hal ini memperparah kondisi buruk yang telah di alami oleh si bayi. Dan melihat dari kondisinya, saya perkirakan, si bayi telah meninggal sebelum Ajeng sampai di rumah sakit."

Retno tersedu-sedu begitu dokter mengakhiri penjelasannya tentang kondisi bayi Ajeng, cucunya. Jika tidak ada Rama yang senantiasa memeluk dan menguatkannya, maka mungkin Retno sudah jatuh terjerembab ke lantai dan menangis meraung-raung saking sedihnya membayangkan nasib anak dan cucunya yang teramat sangat tragis.

Pasangan suami istri itu tiba di Jakarta semalam, setelah mendapatkan telepon singkat dari sang besan dan memberitahu tentang kondisi Ajeng. Kondisi Ajeng saat mereka tiba sangat mengenaskan. Ada begitu banyak luka yang tercipta di tubuhnya dan dia kesakitan, namun lebih daripada itu, Retno tahu putrinya ketakutan, takut terjadi sesuatu pada bayinya. Dan sepertinya ketakutan itu semacam firasat, karena begitu operasi sesar selesai dilakukan, dokter menyatakan bayi yang Ajeng lahirkan tidak bisa diselamatkan dan penyebabnya telah dokter beritahukan pada Retno dan Rama beberapa saat yang lalu.

"Kalau kondisi Ajeng, dokter, bagaimana?" tanya Rama di sela-sela kegiatannya menenangkan sang istri.

"Buruk. Mungkin itu kata yang pas menggambarkan kondisi Ajeng. Beberapa menit setelah Ajeng kami pindahkan ke ruang rawat inap, dia bangun dan hal yang pertama yang dia cari adalah bayinya. Kami ingin memastikan kondisinya membaik terlebih dahulu sebelum memberitahu keaadaan bayinya, tapi Ajeng memaksa kemudian menebak nebak dan begitu kami semua diam, dia mulai menangis dan akhirnya memberontak hendak memeriksa kondisi si bayi sendiri. Suster sampai kewalahan dibuatnya dan akhirnya saya harus memberikan dia obat penenang."

Tangis Retno kian jelas terdengar, tapi dokter belum selesai.

"Saat ini Ajeng mengalami trauma. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya menimpa Ajeng sebelum dilarikan ke rumah sakit sehingga tubuhnya didapati beberapa luka seperti di lengan dan paling parah di bagian pipi. Ditambah dengan kematian bayi dalam kandungannya, hal itu memperparah keadaan putri kalian. Di usia yang masih terlalu muda, semua ini sangat mengguncang kejiwaannya.

Satu hal yang ingin saya kalian ingat, Ajeng membutuhkan dukungan dari orang-orang terdekatnya saat ini. Saya tahu kalian sedih dan berduka akan apa yang terjadi pada Ajeng dan bayinya, tapi Ajeng jauh lebih sedih maka dari itu kalian harus menguatkan diri dan sebisa mungkin menyembunyikan kesedihan kalian tersebut di hadapan Ajeng karena takutnya Ajeng hanya akan semakin terpuruk apabila menemukan orang-orang yang disayanginya sedih karena dirinya."

Rama dan Retno kemudian meninggalkan ruangan dokter dengan hati yang muram. Di koridor, tak jauh dari ruangan dokter tadi, terlihat sang besan bersama dengan tetangga rumah yang mengantarkan Ajeng ke rumah sakit.

Saat itu sudah pukul enam pagi lewat beberapa menit dan jujur saja Rama terkejut mendapati tetangga Ajeng itu masih ada di rumah sakit sekarang.

"Saya turut berduka atas apa yang Ajeng alami dan kematian cucu kalian," kata si tetangga begitu Rama dan Retno tiba di hadapannya.

"Kami juga ingin mengucapkan terima kasih karena telah menyelamatkan Ajeng. Kalau bukan karena kebaikan hati Anda, kami tidak tahu lagi apa yang akan terjadi pada Ajeng."

"Sudah jadi kewajiban bagi kita, manusia untuk saling menolong. Iya kan?"

Rama mengangguk setuju, dan hendak menanggapi namun suara Retno telah mendahuluinya.

Kamu bilang, kamu cinta sama akuWhere stories live. Discover now