Tiga Puluh Enam: Kompleksitas!

82 10 0
                                    

Sejak tadi, Agatha sama sekali tidak dapat memejamkan mata. Hingga tengah malam perempuan itu masih terjaga di kamarnya. Dia pastikan barang bawaannya sudah masuk semua ke dalam koper yang teronggok di pojokan kamar.

Tepat pukul Dua dini hari, dia mengambil semua barang yang sudah disiapkan dan mengendap keluar kamar. Rumah besar yang sudah memberikan kenyamanan selama 12 tahun itu dia tinggalkan.

Sebelum meninggalkan rumah, Agatha memastikan semua yang dia butuhkan sudah dibawa. Termasuk surat-surat kepemilikan aset yang berhasil dia balik nama atas namanya sendiri.

Di luar, satu unit mobil bersembunyi tidak jauh dari rumah itu, sopirnya menunggu di gerbang. Begitu Agatha berhasil keluar dari rumah, sopirnya itu segera menyambut untuk membantu membawa koper dan satu tas yang Agatha bawa.

Sayangnya gerbang dikunci. Mang Parman, penjaga rumah yang selalu berjaga di pos dekat gerbang tidak ada di tempatnya. Agatha putus asa, dia masuk ke dalam pos penjagaan dan mengobrak-abrik tempat itu mencari kunci gerbang.

"Sialan!" hardik Agatha begitu tahu apa yang dia cari tidak ada di sana.

Dia edarkan pandangannya di ruangan yang tidak begitu luas itu.

"Yank, buruan."

Dari luar, Robin memanggilnya. Agatha yang terlanjur putus asa akhirnya keluar dari pos dan berlari menuju rumah.

"Mau ke mana?" tanya Robin setengah berteriak.

"Ambil kunci bentar."

Agatha ingat, satu gerendel kunci selalu tersimpan di ruangan samping sebelah garasi. Dia bisa kembali ke rumah tanpa diketahui siapa pun. Gerakannya cepat khawatir penghuni rumah termasuk ayah dan Ibunya bangun.

Sayangnya saat Agatha mengendap dan mencari kunci di kegelapan, tiba-tiba lampu menyala. Perempuan itu terkesiap, dia tak berani langsung berbalik.

"Nyari apa, Kak? Kunci gerbang, ya?"

Suara bariton Mukhlis Rahmani membuat Agatha kehilangan nyali. Begitu dia berbalik, nyawanya seperti terlepas dari raga. Robin yang menunggunya di luar gerbang kini meronta dalam pegangan Mang Parman dan Mang Tono. Penjaga dan Sopir keluarga Rahmani.

Maudy dan perempuan paruh baya melihat dengan tatapan sedih.

"Lo pasti biang keroknya!" bentak Agatha, perempuan itu hilang kendali dia hendak menyerang Maudy tetapi terhalang Sartika, Ibu kandung Agatha.

"Lepas, Bu. Dia harus dikasih pelajaran karena selalu ikut campur urusanku."

"Agatha, stop, Nak. Sudah!" Sartika berteriak. Dipegangnya pundak Agatha dia guncang sedikit, berharap anak perempuannya sadar dan tidak terus-menerus melakukan kejahatan.

"Ibu belain iblis kecil itu?"

Sartika tidak tahan lagi, tangan yang semula terkepal kini melayang dan mendarat di pipi mulus Agatha. Menimbulkan suara pekikan dan juga rontaan Robin dari pegangan dua pria berbadan tinggi besar.

"Kamu iblis yang tidak tahu terima kasih. Tanpa Maudy dan keluarganya kita selamanya akan jadi gembel!"

Maudy mendekat dan berusaha mendekap Sartika. Perempuan yang dia anggap sebagai ibu kandungnya itu kini terluka karena ulah anak perempuannya.

"Kak," panggil Maudy, suaranya serak. Dia sebenarnya tidak mau melakukan ini, menjebak sang kakak sampai tertangkap basah seperti sekarang ini. Hanya saja, sudah banyak kerugian yang disebabkan oleh Agatha.

"Diem Lo!"

Agatha meraih kunci yang berhasil dia temukan, lalu lari meninggalkan ruangan itu. Sayangnya dari luar, datang Dirga, kakak tertua dari Maudy. Dia yang membantu membongkar semua kebusukan Agatha.

"Saya minta semua duduk, kita dengarkan penjelasan dari Agatha. Kakak, mau, kan jelaskan semua sama Bapak?" Mukhlis tahu, anak tirinya takut dan hormat kepadanya. Dia berusaha bertanya baik-baik berharap semua bisa diselesaikan dengan baik.

Robin yang terus meronta akhirnya tunduk dan patuh. Dia ikut duduk dan mungkin ngaku kalah karena rencananya tidak semulus yang mereka susun sebelumnya.

Agatha menatap Maudy dengan tatapan mematikan.

"Puas! Puas Lo sekarang? Lo selalu dapat apa yang Lo mau sejak kecil, gue hanya bisa gigit jari dan tertawa kaya orang bodoh saat Lo senyum seakan-akan Lo paling hebat."

"Tapi kakak juga selalu merebut apa yang aku punya, sejak kecil sampe sekarang!" bantah Maudy, suaranya tercekat dan bergetar. "Bahkan kakak selalu rebut cowokku, sampai mereka semua putusin aku, Kak. Kakak juga merebut perhatian dari guru di sekolah, dosen di kampus, bahkan Kakak sengaja menggagalkan beasiswa yang seharusnya aku dapat."

"Karena Lo gak pernah pantas dapetin itu semua. Gue yang pantas, gue yang seharusnya dapat apa yang gue mau, bukan Lo! Bahkan kekayaan bokap Lo pun gak pantas Lo dapetin, hanya gue, semua hanya gue! Lo merebut semua kebahagiaan yang seharusnya gue dapetin! Lo gak berhak bahagia, hanya gue, hanya gue yang berhak!" Agatha berteriak, dia menangis dan berlutut. Sartika hanya mampu menutup mulutnya, tidak menyangka anak gadisnya akan belaku seperti itu.

"Kak! Kakak tau aku sayang banget sama Kakak? Sejak Bapak datang bawa Ibu dan Kakak ke rumah ini, aku yang paling bahagia. Sejak saat itu aku pikir Kakak bisa jadi saudara perempuan aku, bisa jadi sahabat aku, kita bisa melakukan hal-hal yang membahagiakan bersama. Nyatanya pikiranku salah. Semua yang aku punya kakak kacaukan, terakhir kakak merebut Kak Dika, gak hanya bikin aku sakit hati juga bikin kekacauan yang lebih besar. Demi ambisi kakak, kakak melukai banyak orang, termasuk aku, Ibu, Kak Dika, Kak Genta dan Kak Kinan."

Robin yang duduk di sofa dengan penjagaan dua pegawai Mukhlis sontak menoleh, gak nyangka nama Kinan akan disebutkan oleh Maudy.

"Kalian pikir kami gak tau perbuatan kalian?" tanya Dirga. Agatha yang tidak pernah akrab dengan kakak tirinya itu hanya diam, memandangi satu persatu orang-orang yang sedang menghakiminya.

"Kalian berdua harus bertanggung jawab atas perbuatan kalian. Pertama, tanggung jawab dengan pengeroyokan yang kalian lakukan pada Radika. Orang-orang yang kalian suruh sudah mengaku sejak lama. Dan kamu, kembali sama istri dan anakmu. Jangan terlantarkan mereka, jangan bentuk manusia-manusia lain yang tidak mendapatkan kasih sayang ayah." Mukhlis bicara sebijak mungkin, dia tidak bisa bertindak gegabah karena Agatha adalah anaknya Sartika, dan dia mencintai Sartika.

"Tidak!" Agatha berteriak, dia bangkit dan memeluk Robin, seakan-akan dia adalah benda yang akan direbut orang lain. Wajah Agatha basah dengan air mata, semua yang dia miliki boleh saja direnggut paksa, asal jangan Robin.

"Jangan pisahkan kami. Yang, Plis katakan pada mereka kita gak akan pisah. Kamu janji buat ceraikan Kinan demi aku, Yang."

"Iya sayang, iya. Tenang dulu."

"Sadar kamu, Agatha!" Sartika bergerak maju, dia meraih tangan anaknya, lantas menyeret paksa Agatha, memisahkan dia dari pelukan Robin. "Sadar, dia suami orang, jangan jadi pelakor!"

Agatha memberontak, sejenak, sempat terjadi tarik menarik antara Robin dan Sartika, sampai akhirnya Agatha mengeluh, dia memegangi perutnya, dan menjatuhkan diri dengan posisi meringkuk di lantai. Dia meringis dan mengerang sampai akhirnya Maudy berteriak karena lantai putih yang mereka pijak bernoda darah.

Uncrush [END]Where stories live. Discover now