Dua Puluh Lima: Radika si Kambing Congek

82 8 2
                                    

Setelah Magenta pergi dari hidupnya, Radika merasa dunia tak lagi sama. Rasanya dunia kejam dan tidak adil. Mami papinya tak banyak bicara setelah membatalkan tuntutan Maudy. Bunda semakin menyibukkan diri, Kastara sibuk pacaran dan Agatha makin lama makin menyebalkan. Apalagi setelah dia mengatakan bahwa Tumbler Magenta sudah dia berikan pada pengemis yang kehausan.

Radika malas bertengkar karena masalah yang sama. Saat Agatha memintanya untuk menemani berbelanja pun Radika tidak menolak. Dia harus bertindak menjadi pacar yang baik, bukan?

Meski kakinya sangat lelah memenuhi keinginan Agatha mengelilingi mall demi memenuhi hasrat belanjanya.

"Aku tunggu di sini, boleh?" ratap Radika. Dia rela membawa banyak kantong belanja di tangannya. Hanya saja, kakinya sudah tak sanggup lagi dibawa berkeliling mencari barang yang entah berguna atau tidak.

"Oke."

Agatha nampaknya tak peduli, dia memasuki sebuah store terkenal. Dari luar, Radika bisa melihat bagaimana lihainya perempuan itu memilih barang-barang yang harganya selangit itu.

Suatu hari, Radika pernah belanja bersama Magenta. Dia ingat jelas saat itu dirinya hanya membawa satu cup minuman. Berjalan ke sebuah store tanpa ada beban apa pun. Magenta tidak pernah membiarkan dirinya kepayahan membawa barang.

Pernah juga makan bersama di tengah keramaian, Magenta yang memesan, memilihkan meja, membayar ke kasir. Setelah orang itu pergi, dia sadar betapa bergantungnya Radika pada Magenta.

Saat pacaran seperti sekarang, Magenta juga setia mengikuti meski dari kejauhan. Magenta itu seperti bumi yang terus dikelilingi bulan. Dan dirinya adalah bulan yang memiliki wajah berbeda setiap harinya saat mengelilingi Magenta.

Tawa Agatha membuat Radika sadar dari lamunan. Dia melihat perempuannya bersama lelaki bertubuh lebih tinggi dari dirinya di depan toko. Skin ship mereka berlebihan. Lelaki yang dia ingat bernama Robin itu bahkan sesekali menepuk lembut kepala Agatha.

Radika meraba dadanya. Aneh, dia tidak apa-apa melihat itu. Tidak ada rasa tercubit dan ngilu di sekujur tubuh seperti saat melihat Magenta dan Yuki bermesraan.

"Hon, ini Robin, temanku di kantor," ucap Agatha begitu mendekat.

Radika berdiri dan mengulurkan tangannya. Sayangnya lama sekali tangannya yang putih pucat menggantung di udara. Tidak ada balasan jabat tangan dari sosok bernama Robin.

"Hei," ujar Agatha, menepuk tangan Robin sehingga membuat lelaki itu sedikit kaget dan akhirnya menjabat tangan Radika.

"Robin."

"Radika."

"Robin mau ikut makan bareng kita, boleh, ya, Hon?"

Agatha meraih tangan Radika dan menggandeng dengan manja. Dia menempelkan pipinya di lengan Radika, lagi-lagi Radika luluh. Mengangguk pasrah.

Tidak ada yang mau membantu membawa banyaknya kantong belanja. Radika merasa seperti babu sementara Agatha berjalan bersisian dengan Robin. Gestur tubuh perempuannya itu sangat lucu, mungil, dengan rambut yang dia ikat ekor kuda. Sesekali Robin menyelipkan Surai Surai bandel yang lepas dari ikatannya.

Radika seperti mati rasa, dia benar-benar baik-baik saja dengan pemandangan di depannya.

Obrolan di restoran pun didominasi oleh Agatha dan Robin. Radika bahkan tidak mengerti apa yang dibicarakan. Dia hanya fokus dengan nasi ayam bakar yang dipesan. Radika kelaparan sehabis menjadi kuli angkut barang-barang Agatha.

Dunia lagi-lagi gak adil kala Radika melihat Maudy sedang tertawa lebar di sudut restoran. Dia bersama beberapa temannya seolah sedang merayakan sesuatu. Sejak menemukan ada perempuan itu di sana, Radika terus menatapnya. Bukan cinta lama yang belum selesai. Tapi dendam pribadi karena semua jadi kacau.

Raga Radika digadai dengan sebidang tanah. Sungguh tidak adil, sekaya apa orangtuanya rela melepaskan tanah itu agar anak perempuannya tidak mendekam di penjara.

Dari tempat duduknya, Radika melihat sosok kecil yang ceria itu keluar dari meja. Dia mengambil pouch kecil dan berlalu ke belakang.

"Hon," panggil Radika. Agatha yang masih asik bincang-bincang sama Robin menoleh.

"Ya?"

"Aku ke toilet bentar."

Tanpa jawaban, Radika melesat ke toilet menyusul Maudy.

Enak saja dia bisa melenggang bebas tanpa hukuman sementara dirinya menderita berlipat-lipat.

Radika bersandar pada pilar yang membatasi toilet pria dan wanita. Karena jelas tidak mungkin Radika masuk menerobos melabrak Maudy di toilet wanita, bisa-bisa dia dilaporkan pihak keamanan dengan tuduhan penjahat kelamin yang mengintip.

Satu dua orang keluar dari toilet, Radika masih setia menunggu Maudy. Sama seperti dulu, bedanya dia mengantar sedangkan sekarang ingin melabrak memberikan pelajaran yang keras agar penderitaan yang dia rasakan saat babak belur bisa Maudy rasakan.

"Enak sekali bisa melenggang bebas tanpa hukuman!" kata Radika begitu melihat Maudy keluar.

Sosok kecil itu berbalik dan membelalakkan matanya. Dia tergagap, namun sesaat kemudian dia melangkah dan mendekat.

"Radika, maaf," ucapnya pelan.

"Lo sebenarnya punya hati gak sih? Ah tidak ya, makanya Lo kirim preman buat bunuh gue, iya? Begitu? Setelah itu, dengan kekuasaan bokap Lo yang kaya itu Lo masih bisa haha hihi di tengah Mall yang ramai tanpa malu, begitu?"

Maudy terlihat pucat dan gak bisa membantah. Radika semakin kesal melihat reaksi mantan pacarnya itu.

"Aku gak bisa ngomong sekarang. Tapi yang jelas, suatu saat nanti kamu akan tahu kebenarannya. Plis, Ka. Kasih kesempatan buat aku membuktikan kalau sebenarnya aku gak bersalah."

"Eh, anjing! Lo udah minta maaf dan ngaku waktu itu, trus sekarang Lo bilang gak bersalah? Ngaca Lo!"

Puncak emosi itu sepertinya hendak meledak saat itu juga. Namun, Radika melihat Agatha datang mendekat. Dia senyum.

"Lo gak akan pernah bisa hidup tenang. Lo gak akan pernah bisa hidup nyaman seperti sebelumnya!" desis Radika. Dia khawatir Agatha mendengar apa yang dia katakan.

"Ada apa, Hon? Siapa dia?" tatapan Agatha sinis, dia melihat Maudy seperti anjing yang melihat kucing. Galak!

Maudy mundur, tanpa sepatah kata pun akhirnya dia pergi berlari ketakutan.

Radika puas menggertak. Dia akhirnya bisa senyum melihat kekasihnya di depannya.

"Kamu lama amat di toilet, siapa dia?"

"Aku sakit perut, baru keluar dari sini ditabrak cewek tadi."

Agatha sempat mengerutkan kening karena ragu dengan alasan Radika. Tapi akhirnya dia senyum dan menggenggam tangan Radika.

"Khawatir banget kamu kenapa-kenapa makanya aku susul. Ayo balik ke meja."

Radika mengangguk, dia sedikit senang karena masih ada rasa cinta yang diberikan Agatha. Dunia memang sedang tidak adil padanya, tapi setidaknya Radika punya pacar di sini.

Dia yakin seiring berjalannya waktu, Dunia kembali baik.

Namun, ternyata belum saatnya. Karena si Robin-Robin itu ternyata masih menjadi hama. Dia tidak beranjak sedikit pun dari kencan Radika dan Agatha.

Malahan, dia seperti mencari perhatian lebih agar Agatha tidak bicara dengan Radika.

Senyum di sudut mulut Robin saat menatap Radika adalah senyum merendahkan.

Uncrush [END]Where stories live. Discover now