Peraturan Rajendra

Start from the beginning
                                    

Jalanan ini tidak pernah dia lewati. Lampu remang-remang seperti ini pun hanya cukup membuat trotoar sedikit terlihat, lagi, ini juga jalan kecil. Tak ada pilihan lain memang, Ara juga takut Rajendra akan marah besar padanya kalau mereka terus memutar dijalan yang sama lagi.
Sejak dulu, ingatan Ara tidak pernah benar, saat ibunya pergi beberapa tahun lalu, ingatannya semakin memburuk akibat trauma yang dialaminya. Sampai sekarang pun, jika ditanya masalah dimana ibunya? atau tinggal dimana, Ara akan lupa. Makanya Owen selalu menjemput dan mengantarnya ke kampus

"Cantik juga, neng. Mau kemana?" Ara hanya menunduk dalam-dalam dan mempercepat langkahnya, handphonenya bergetar menandakan telfon masuk dan refleks, Ara menghentikan langkah.
Baru saja ibu jarinya hendak menggeser layar tanda hijau ponselnya, tangannya justru ditarik kuat-kuat

"Lepasin! Ara harus angkat telfon Kak Owen!!" Teriaknya karena semakin terseret jauh dari letak handphonenya yang terjatuh

"Lepasin cewek ini. Bukan lawan lo," tangannya terasa ditarik lagi, tapi kali ini tangannya lebih besar dan setelah mendongak keatas, pria tampan yang tingginya sangat tak sepadan dengannya itulah yang teryata menariknya sampai ke belakang tubuh tegapnya

"Kamu lari ke mobil itu, cepet" perintahnya sebelum kedua pria yang semula menyeretnya kasar memulai aksi menghajarnya. Beruntung pria tampan itu punya beladiri yang jago, menurutnya. Bila dilihat sekarang, tak sampai 10 menit kedua preman tadi tepar ditempat

"Masuk. Kamu mau mereka ngejar kamu lagi?"
"Eng-enggak mau. Iya aku masuk" katanya terbata. Jelas saja, cowok ini benar-benar membuatnya takut juga. Bisa jadi keluar dari preman tadi, tapi cowok ini yang jadi ambil alih. Ara semakin was-was

"Rumah kamu dimana? Biar aku yang anter"
"Rumah?" Lagi, membicarakan soal rumah. Ara hanya menelan ludahnya dengan susah payah. Sudah terjebak bersama orang-orang menyeramkan, bahkan ponselnya pun juga tertinggal, yang ia yakin juga sudah rusak karena jatuhnya yang sangat mendadak.

"Iya, kamu mau pulang kan?"

***

Sambil menyeka keringat dinginnya, Owen sibuk dengan handphonenya. Ara belum juga menjawab panggilan, bahkan beberapa kali di reject olehnya. Awalnya Owen maklum karena takutnya Ara masih sibuk, sebelumnya pun adiknya itu izin pergi ke kantor tempatnya magang tahun depan, katanya juga mau sekalian nemuin temennya disana

"Loh mas, kok belum tidur? Udah jam delapan, takutnya besok kesiangan lagi kayak tadi," bi Sal datang tiba-tiba dengan raut kekhawatirannya

"Belum bi, masih nunggu Ara pulang dulu" "kenapa nggak dijemput, mas? Bukannya mba Ara nggak afal rumah?" Mendengar itu, Owen langsung mendelik. Baru mengingat satu hal tentang semua kekhawatirannya sedari tadi.

"Yaudah bi, aku jemput Ara dulu deh. Bilang pak Man masukin motor ya bi, aku pake mobil" setelah itu diambilnya kunci mobil dari atas mejanya dan setengah berlari setelahnya.

Beberapa orang yang masih berlalu lalang di taman depan kantor ini tampak acuh. Tak sekalipun juga dilihatnya wanita cantik yang tak lain tak bukan adalah Ara, adiknya. Tidak mungkin juga sibuk sampai jam segini, apalagi kan Ara belum menjabat apapun disini sekarang
Malas lama-lama didalam mobil, Owen memutuskan keluar sambil mencari Ara. Siapa tahu masih di dalam. Lagi, dia mengecek kembali handphonenya, tidak ada jawaban dari Ara sama sekali membuatnya semakin bertambah panik sampai tubuhnya menubruk seseorang di tangga masuk

"Sorry, sumpah gue gak liat" katanya meminta maaf karena membuat beberapa berkas berkas di map nya berjatuhan. Pasti dihajar dah nih, fikirnya

"Lain kali liat-liat dong mas. Penting nih semua laporan saya," ujarnya sambil memunguti kertas-kertasnya. Setelah selesai semua, baru pemiliknya berniat pergi dari sana, "hati-hati tuh mas kalo jalan lagi,"

Steal My BoyWhere stories live. Discover now