“Mulai sekarang, saya dan kamu, orang asing. Saya harap kamu enggak nyentuh calon saya. Kamu tahu betul resiko ngusik apa yang saya lindungi, 'kan?”

Gertakan gigi Keyzia mengudara. “Mas, aku harap pernikahan kamu enggak bertahan lama.”

“Keyzia, saya berharap kamu lebih bahagia.”

Keyzia terkesiap—sorotan Radhyan mengartikan ketulusan; sendu, hangat dan diselimuti kasih sayang.

Selayaknya dahulu sewaktu pria itu menyatakan betapa besar rasa cintanya.





••••







“Emang mesti gini, ya, Pak?”

Saat akan menggigit ujung pena yang ia genggam, telapak tangan pria itu menghalaunya.

“Kotor, Bu,” tegur si pria.

Seolah tidak peduli peringatan barusan. Si gadis menyodorkan pena tersebut. Mengembalikan benda kepada sang empu, dibarengi mimik julid; merepresentasikan kejengkelannya atas perhatian yang diberikan si bapak titan.

“Ambil, aja, gih, Pak. Aku punya pulpen sendiri, kok,” ujarnya, meraih pena dari saku tas jinjing.

Suasana caffe langganan si gadis sore ini nampak ramai. Wajar sekali, caffe tempat mereka duduk merupakan caffe bernuansa otentik ornamen jadul nan aesthetic yang tengah digandrungi kawula muda, hingga semua kursi yang disediakan penuh oleh anak remaja. Bahkan, beberapa pelanggan harus bersabar mengantri meja kosong.

Tak tanggung-tanggung, pengunjung takkan segan menekan bintang lima di kolom review google. Di tiktok pun—caffe Anak Jadoel ini, menjadi top one rekomendasi caffe ter-viral.

“Kenapa enggak ketemu di lobby hotel? Obrolan kita bakal lebih nyaman, Bu.”

“Bapak komplain mulu, ish! Aku, tuh, takut ketemu orangtua siswa. Makanya, milih di sini, Pak. Ngeri banget ketemu ortu siswa, entar mereka ngira aku staycation sama cowok. Duh, berabe!”

Poker face Radhyan melekat sempurna di wajah. Tidak heran orang sekitar selalu menyalah-pahami si pria. Untungnya, si mungil tidak terpengaruh.

“Enggak harus di hotel banyak tempat ekslus—”

Shhht! Kita enggak ngehadirin rapat penting. Kita calon pasutri, lho. Masa milih tempat ekslusif?” Si gadis menaruh telunjuk di bibirnya. Ia memerintah Radhyan supaya diam. “Aku bukan mau mentingin tempat. Gini, ya, Pak, kita berdua, kan, mau nikah. Tapi, kenapa, ya, aku disuruh ngisi daftar riwayat hidup. Kek orang yang mau lamar pekerjaan?”

“Saya udah isi. Ibu bisa baca semua tentang saya di situ. Jad—”

“Aku udah baca semua data Bapak dari linkedln. Infonya lengkap, Pak. Aku enggak butuh data versi fisik, kita berdua udah di jaman era digital, lho,” potongnya; memprotes, ia lalu menggeser lembaran kertas berisi data identitas lengkap lawan bicara.

“Enggak apa, saya berencana tunjukkin ke orang tua saya data identitas, Ibu.”

Terpaksa, si gadis menuruti kemauan Radhyan. Ia sebenarnya bukan tipikal orang yang senang hati jika direpotkan. Tetapi, apa boleh buat.

“Nama? La Lula. Nama lengkap? La Lula La Nuna. Tempat tanggal lahir?” Ia menyebutkan data yang perlu ia tulis tangan. “Agama? Islam—blablabla.”

Dibutuhkan waktu 34 menit bagi La Lula mengisi semua data yang diminta Radhyan pada lembaran riwayat hidup tersebut. Saking banyaknya—La Lula hampir menyerah di pertengahan jalan.

Marriage On RulesWhere stories live. Discover now