10 - It Hurts, Everytime

364 40 15
                                    

Author POV

Darren membuka matanya dan mengerjap sesekali untuk menyesuaikan dengan cahaya. Tubuhnya terasa sangat sakit, terlebih di bagian perutnya. Bahkan rasanya sakit di setiap tarikan nafasnya.

Darren mengedarkan pandangannya dan tentunya tempatnya sekarang sudah tidak asing lagi, ruangan ini adalah yang selalu dia tempati jika ayahnya sudah mulai menggila dan memukulinya hingga dia kehilangan kesadaran.

Dia melihat sekelilingnya sekali lagi. Tidak ada siapa-siapa, seperti biasa dia hanya sendirian.

Bahkan setelah dia hampir mati, tak ada yang datang dan menemaninya atau hanya sekedar khawatir tentang keadaannya. Tidak ada yang peduli padanya. Darren penasaran, jika dia mati apa ada orang yang akan menangisinya atau orang-orang justru akan merayakan kepergiannya?

Tak lama pintu ruangannya terbuka dan Dr. Sena masuk dan menghampirinya. Bukan hal yang aneh karena ada CCTV disini dan tentunya Dr. Sena akan tahu kalau dia sudah bangun, seperti biasanya, ayahnya akan meminta Dr. Sena untuk memastikan dia sembuh secepatnya. Bukan karena tak ingin Darren kesakitan terlalu lama, tapi agar bisa memaksa Darren untuk melakukan jadwalnya lebih cepat.

"Darren, apa yang kamu rasain? bagian mana aja yang sakit?" tanya Dr. Sena dengan khawatir, namun Darren tak tahu apa dia benar-benar khawatir atau hanya sebuah formalitas saja. Darren tak akan lupa kalau orang yang merawatnya ini adalah sahabat dari ayahnya, apapun bisa terjadi.

"Gak ada, gapapa." sahut Darren.

"Tolong jangan ditahan sendiri Darren, selain perut kamu bagian mana lagi yang sakit? Om perlu tau buat obatin kamu" tanya Dr. Sena berusaha agar selembut mungkin.

"Semua, sakit sampe nggak ada rasanya." sahut Darren sambil menatap mata Dr. Sena dengan pandangan kecewa.

"Om periksa sekali lagi ya?" kata Sena, lalu mulai memeriksa perut Darren yang semakin biru. Lebamnya begitu banyak hingga Sena meringis bahkan hanya dengan melihat itu. Dia masih heran bagaimana Darren tidak meringis sama sekali. Itu aneh, itu bukan reaksi yang biasanya ditunjukkan oleh orang normal. Sena khawatir kalau sesuatu terjadi pada mental Darren hingga dia seperti ini. Sena ingin mempertemukan Darren dengan istrinya yang merupakan seorang psikiater. Namun dia takut kalau Daniel akan tahu dan malah membuat Darren semakin tersiksa.

"Darren, kalau ada yang mengganggu fikiran kamu, kamu bisa cerita sama Om. Jangan ditahan sendirian terus. Kalau rasanya sakit kamu bisa keluarin itu, kalau kamu sedih juga gak papa buat tunjukin itu. Meringis, menangis itu hal yang wajar Darren, tidak ada yang melarang kamu untuk ngeluarin apa yang kamu rasain. Jadi jangan menekan diri terus." kata Sena, berharap kalau kata-katanya cukup lembut untuk didengarkan oleh Darren.

"Om siapa?" tanya Darren, jawaban yang jauh dari apa yang Sena katakan.

"Apa?"

"Apa yang bisa aku harepin dari sahabatnya orang yang udah bikin aku kayak gini? Aku bahkan gak tau Om tulus sama aku atau cuma karena fomalitas aja."

"Kalau bukan karena kamu, Om nggak akan kerja sama papa kamu Darren. Om pasti udah berhenti dan kerja di tempat yang lebih baik. Tapi Om gak tau kenapa berat banget ninggalin kamu, Om gak tau kenapa Om selalu pengen bantuin kamu, pengen sembuhin kamu." jawab Sena.

"Lain kali jangan."

"Apanya?"

"Jangan sembuhin aku Om. Kalau Om beneran mau bantu aku, bantu aku biar nggak bangun lagi." Pinta Darren membuat hati Sena merasa diremas hingga sakit.

"Darren. Jangan bicara kayak gitu."

"Tolong jangan pura-pura baik Om, aku gak mau tanpa sadar bergantung terlalu banyak."

Lost Stars | Watanabe HarutoWhere stories live. Discover now