Sudah Berteman Lara Sejak Dulu

200 23 17
                                    

"Dok, anak saya masih kecil. Masih 8 tahun! Gimana bisa ada kanker hati?"

Tak ada orang tua yang menginginkan buah hatinya sakit. Namun jika Tuhan telah berkehendak, manusia pun tak mampu menentang. Bocah yang kini terlelap di dalam kamar rawatnya tak pernah menyangka akan dipaksa berteman dengan rasa sakit sejak usia dini.

Hati orang tua muda itu hancur, tentu saja. Putra keduanya harus diberi hadiah dari Yang Maha Kuasa. Bahkan rasanya untuk mengambil napas pun keduanya kesulitan karena sesak yang menguasai.

"Maaf, ini memang kenyataan yang sulit diterima. Tapi memang anak Anda menderita sakit kanker hati stadium C. Seharusnya bisa terdeteksi sejak awal. Namun sepertinya anak Bapak dan Ibu nggak menyadari gejala yang dia alami."

Pantas saja sang putra beberapa kali mengeluh perutnya sakit, bahkan sampai ada bengkak di sana. Airin terisak. Merasa bodoh karena tak menyadarinya sejak awal. Seharusnya penyakit yang bersarang di hati Cakra segera ditangani. Begitu pula dengan Danu. Pria itu memang hanya diam. Namun siapa yang tahu hatinya justru sangat hancur. Raden Cakrawala Gemilang, salah satu putra kebanggaannya yang ceria harus mulai memikul rasa sakit.

"Penyebabnya ada beberapa, Pak, Bu. Salah satunya minum alkohol, diabetes, obesitas, infeksi kronis, Lupus, bahkan penyakit turunan dari orang tua atau kakek nenek."

Airin mengembuskan napas pelan. Seketika ingat bahwa mendiang ibunya memang pernah mengidap penyakit kanker hati hingga merenggut nyawanya.

"Almarhumah ibu saya menderita kanker hati, Dok."

Sang dokter hanya mengangguk. Memaklumi jika orang tua pasien di hadapannya masih sangat terpukul.

"Bapak dan Ibu tenang aja. Kami akan berusaha untuk memberikan pengobatan terbaik untuk putra Anda. Doa keluarga dan semangat dari pasien juga sangat dibutuhkan."

Airin dan Danu hanya memasrahkan pengobatan pada para tenaga medis. Lantas keduanya pun berpamitan untuk menuju kamar rawat si tengah. Namun siapa sangka begitu keduanya keluar dari ruangan dokter, ada Abimana dan Gentala yang berdiri di luar. Hati orang tua muda itu semakin teriris saat melihat jejak air mata di kedua buah hatinya.

"Mama, tolong minta Allah buat jangan ambil kakak aku."

Si bungsu yang masih berumur 7 tahun menangisi kakaknya yang kini harus mulai berjuang untuk hidup. Bocah sekecil itu saja sudah mulai memahami tentang lara yang mengungkung keluarganya.

"Aku nggak mau Cakra diambil. Aku nggak mau."

Si sulung tak kalah hancur. Mata bocah 10 tahun itu bahkan sampai bengkak dengan dua bola kembar yang memerah. Mendengar kata kanker, tentu saja membuat Abimana takut dan merasa tak asing. Bocah itu sempat menjadi saksi bagaimana mendiang neneknya yang meninggal karena kanker.

"Nak, Cakra nggak akan pergi. Cakra pasti sembuh. Kalian tenang aja."

Airin mengusap punggung Abimana yang kini bergetar, lantas memeluknya dengan erat. Di sisi lain, Danu menggendong si bungsu Gentala yang tak berhenti menangis sambil menggumamkan kalimat Ya Allah, jangan ambil Kak Cakra yang membuat hati Danu semakin perih.

***

Pemandangan kebersamaan Osean dan Jasmin tak mampu membohongi perasaan Cakra yang terluka. Melihat bagaimana mereka makan bersama di hadapannya, menautkan kedua tangannya untuk berdoa, dan bercanda seolah mengolok-olok hati Cakra.

"Cak, kenapa bengong? Katanya minta pjpj?"

Osean menghentikan aktivitasnya menyuapi Jasmin. Matanya memandang heran Cakra yang hanya diam sembari mengaduk makannya tak minat. Jasmin pun hanya mampu melirik diam-diam sosok tampan yang kini sibuk mengaduk random bakso di hadapannya.

Bumantara Berkabut NestapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang