Prolog

18 0 0
                                    

Hai, apa kabar? Semoga harimu baik-baik saja ya. Akupun berharap begitu, agar kamu selalu maksimal menjalankan rutinitas pengabdian yang katamu "Demi Kemanusiaan" itu. Aku ramal, saat kamu mulai membuka buku ini, kamu akan melihat kata sapaan dariku yang biasanya kamu pakai saat membuka bicara setelah lama tak bercengkrama, hehe.

Obrolan kita dulu asik ya, penuh gelak tawa, bercanda, tertawa lepas seperti anak kecil kegirangan yang dibiarkan jajan banyak di supermarket oleh mamanya. Teramat bahagia jika dikenang masa itu. Apa kamu ingat saat kita menyusuri jalan panjang tak tau arah dengan motor setelah kamu pulang dari rutinitas sehari-harimu itu? Kamu orang pertama yang menungguku di depan gang kost-an agar tidak ketahuan penghuni kost yang lain. Eh ternyata, kita berpapasan langsung dengan ibuk kost. Memasang muka tak bersalah dan tetap ramah menyapa ibuk kost yang amat sangat baik hati adalah solusi yang muncul saat kepepet waktu itu. Aku masih ingat jelas saat matamu jelalatan melihat buah duren orang yang masih di pohon sampai-sampai motormu memasuki lobang besar di jalan saat itu.

Sudahlah, jika diingat memang tidak akan ada habisnya. Harusnya aku mengucapkan terimakasih padamu karena telah ditraktir sebanyak itu, tapi aku lupa. Terimakasih banyak yaa

Kau tau? Sejak hari itu, kamu menjadi tokoh utama yang kurangkul erat dalam tulisanku. Siapa suruh masuk kedalam kehidupan penulis? Akhirnya kamu harus menanggung resiko untuk tetap abadi pada setiap kata dalam karyaku.

Malam ini aku termenung sendiri didepan pintu kamarku, memandang langit yang dipenuhi bintang seakan membentuk rasi. Awalnya aku tak ingin memikirkan apapun. Hanya ingin bersantai menikmati angin malam yang hawanya lama kelamaan menusuk tulang. Tetapi siapa sangka, bayangan ilusi mulai menggerogoti kepalaku. Dudukku mulai tak nyaman, hawa dingin sepertinya sudah kalah dengan debar-debar jantung yang semakin lama semakin kencang. Aku mulai melipat kakiku dan ingin melawan bayangan ini. Kuraih coklat yang tergeletak di atas kasurku dan kugigit perlahan. Mencoba meresapi rasa manis yang disuguhkan dengan campuran kacang mente yang gurih dan nikmat berharap bayangan jahat ini akan hilang dan lenyap bersama coklat yang sudah mendarat di lambungku. Namun ternyata sia-sia. Bola mataku mulai menatap satu titik, otakku menerawang tak karuan.

Ah sial, aku gagal lagi. 

Secangkir Kopi dan Kala ItuWhere stories live. Discover now