Chapter 31

889 34 0
                                    

Begitu keras kepala wanita itu. Berjalan-jalan di tepi pantai dengan pakaianya yang minim serta tak mengenakan alas kaki. Kini dirinya berakhir duduk di atas ranjang dengan badan yang demam serta telapak kaki yang terluka akibat tak sengaja menginjak cangkak kerang yang terbuka.

Dia terduduk lemah di sana setelah mati-matian tidak ingin Demiral gendong untuk kembali ke mansion. Bersikeras untuk berjalan sendiri padahal kondisi tubuhnya yang lemah. Si keras kepala.

"Biarkan pelayan yang mengurus lukaku. Aku tidak ingin seseorang membubuhkan obat terlarang ke dalam lukanya seperti beberapa tahun yang lalu," sungut Valerie menyindir pada Demiral yang duduk di tepi ranjang dan tengah mengobati kakinya yang terluka.

Sudut bibir Demiral tertarik ke atas mendengar ocehan istrinya. Ia tidak mengangkat wajahnya untuk menatap Valerie. Hanya terus cekatan mengobati luka pada kakinya.

Luka pada kakinya cukup dalam hingga perlu mendapatkan beberapa jaitan. Demiral yang tak ingin memanggil dokter untuk datang dan menyentuh istrinya sembarangan, lantas mulai menyiapkan beberapa alat medis yang diperlukan.

Wajah Valerie mencebik kesal. Tatapanya yang tajam terarah pada Demiral yang tak menanggapinya. Sedetik kemudian siren eye itu membulat saat ia lihat Demiral mulai memegang sebuah jarum jahit.

"Apa yang ingin kau lakukan?" tanya Valerie memelototi suaminya.

Tenang Demiral menyeka darah yang keluar dari luka istrinya, menusukan jarum pada kulit daging yang menganga di sana.

"HAH DAMN!" Satu teriakan lolos dari bibir Valerie. Mengejut kakinya yang langsung Demiral tarik kembali lalu ia cengkram kuat-kuat. Tanpa obat bius pria itu menjahit lukanya begitu saja. Sakit amat sangat menyakitkan. "Kau gila?" sungut Valerie pada suaminya.

Demiral menatap wajah istrinya yang kesal sekilas. "Oh maaf, aku tidak memiliki obat bius."

Menahan napas serta mencengkram sprei kuat-kuat. Valerie memejamkan mata dan menggigit bibirnya saat pria itu mulai menusuk-nusuknya kembali menggunakan jarum. Sekuat mungkin bibirnya tidak meloloskan teriakan lagi.

"HAH! Aku tidak bisa." Ia mencekal tangan Demiral yang tentu langsung terhenti aktivitasnya di sana. Lukanya terasa sangat sakit dan dia tidak sanggup menahanya lagi.

Cekatan pria itu memutar jarum yang terdapat benang kemudian mengguntingnya. Membersihkan kembali luka Valerie lalu ia balut rapih dengan perban. Selesai sudah acara obat mengobatinya.

Kini pria itu benar-benar mengangkat wajahnya menatap wajah mencebik di hadapanya. "Masih sakit?" tanya Demiral santai.

Valerie mendengus kesal. Jelas sakit tapi pria itu masih bertanya. Ia tidak memiliki niatan untuk menjawab pertanyaan dari suaminya.

Lantas Demiral menyodorkan sebuah benda kecil bulat pada Valerie, meminta istrinya itu untuk membuka mulut dan memakannya. Tidak langsungmengikuti permintaan pria itu, Valerie malah membuang wajahnya ke samping.

"Jangan memberiku hal-hal terlarang seperti itu," tuturnya masih dengan wajah mencebik.

Demiral terkekeh mendengarnya. Ia masukan benda bulat kecil itu langsung ke dalam mulut Valerie. "Itu hanya sebuah permen," ucapnya cepat sebelum Valerie menyela perkataanya.

Manis. Valerie merasakan benda itu meleleh di dalam mulutnya berperisa mint serta coklat pada bagian dalamnya. Mulutnya sesaat sibuk untuk merasakan sensasi perment tersebut.

"Beristirahatlah, demammu masih tinggi."

"Ya keluarlah kau dari kamarku," titah Valerie acuh.

Menghela napasnya menelan kesabaran. Ia menyusun kembali alat-alat medis ke dalam kotak. Setelah semuanya rapih, Demiral beranjak dari tempatnya. Ia mengusak puncuk kepala Valerie. "Tidurlah," ucap pria itu sebelum meninggalkan ruangan.

Terdiam tidak menjawab apapun hingga suara pintu terdengar ditutup. Valerie menatap kakinya yang terbalut perban rapih. Mulutnya masih menghisap permen manis.

Hukuman macam apa ini? Dirinya bahkan lebih lemah dibandingkan Demiral yang selalu mendapatkan penolakan darinya. Hatinya sangat terasa tidak tenang.

******

Langkah kaki yang berat terdengar menuruni anak tangga. Tas medis yang dibawanya langsung diambil alih oleh pelayan. Gontai ia berjalan menuju dua pria di ruangan utama.

Nolan dan Alesandro tengah berbincang di sana. Dua wajah mereka tampak serius membicarakan sesuatu.

"Maaf aku terlambat." Demiral mendaratkan bokongnya pada sofa di sebelah Nolan.

"Bagaimana kondisi istrimu?" tanya Alesandro.

"Dia baik-baik saja."

Nolan menatap lurus ke depan. Telinganya mendengarkan percakapan antara Alesandro dan Demiral namun tatapannya sama sekali tidak terarah kepada mereka. Dirinya datang untuk memberikan pesan Albert pada pamanya. Meskipun bisa saja ia menghubungi Demiral melalui telepon, namun Nolan lebih memilih untuk mendatanginya langsung.

"Kau harus pergi malam ini juga menuju perairan china. Pirate yang kau habisi hampir dua puluh persen dari mereka kini mulai menuntut balas dengan menghalangi bisnis kita yang melaju lewat daerah perairan." Nolan menyampaikan sedetail mungkin.

Tatapan Demiral dingin minim ekspresi. Dirinya hanya terdiam sebagai tanggapan dari aduan Nolan. Bukan menolak, Demiral tentu akan pergi mengatasi semua itu karena ini merupakan tangung jawabnya. Namun ada sesuatu yang sedikit mengganjal di dalam hatinya.

"Kapan kau akan kembali? Keluar dari pulau ini?" tanya Demiral tentu saja keluar sangat jauh dari konteks pembicaraan.

Nolan menoleh manatap pamanya yang telah menyorot tajam. Tahu betul apa maksud perkatan dari pria di hadapanya itu.

"Aku berencana untuk berlibur di sini," jawab Nolan santai pun tenang. Mengangkat sebelah sudut bibirnya.

Rahang Demiral mengetat, hendak ia keluarkan kalimatnya namun Alesandro lebih dulu menepuk pundak Demiral menghentikannya.

"Atasi semuanya malam ini dengan baik, jangan sisakan celah sehingga mereka mampu mengusik kita kembali," titah Alesandro.

Demiral melonggarkan otot-otot tanganya yang mengetat. Ia berbalik untuk menatap kakeknya. "Baik. Aku tidak akan mengecewakanmu."

Nolan melihatnya dengan jelas. Kekejaman Demiral Hugo serta auranya yang memanglah setara dengan Alesandro Hugo. Mereka berdua pantas disandingkan bersama.

Pria tua itu melangkah pergi dari sana. Suara tongkat yang menghentak lantai menjadi pengiring langkahnya yang renta. Hingga suaranya benar-benar tak terdengar lagi menandakan pria tua itu telah berlalu jauh.

"Apa rencanamu berada di sini?" Demiral melanjutkan kalimatnya yang sempat tertahan tadi sebab masih ada Alesandro.  Dirinya cukup terganggu dengan kehadiran Nolan di sana terlebih berada di sekitaran istrinya.

Nolan tersenyum berakhir dengan kekehan samarnya. "Apalagi? Aku ingin berlibur."

"Kau tidak menyukai pulau ini sejak dahulu, bukankah suara gagak selau menganggumu?" tukas Demiral.

"Itu dulu, sekarang tidak masalah bagiku untuk mendengarnya setiap detik," dalih Nolan.

Demiral memijit pelipisnya pusing. Ia tidak ingin membuat keributan dengan keponakannya itu. "Kukatakan dengan jelas, jangan mendekatinya."

"Tidak akan kudekati dia dengan sengaja," timpal Nolan. Ia beranjak dari duduknya, berdiri lalu menguap dibuat-buat. "Aku lelah. Cukup dengan peringatanmu dan aku ingin beritirahat."

Dia melangkah sebelum Demiral mengatakan peringatanya lainya. Nolan melangkah dengan senyuman terukir pada wajah tampanya. Dapat ia rasakan kekhawatiran pamanya karena akan pergi meninggalkan Valerie sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan.

*****

Jangan lupa vote🌹🌹

LustWhere stories live. Discover now