Chapter 18.

26.7K 2.9K 114
                                    

"Sayang, Mas berangkat dulu ya?" pamit Lendra.

Alera memandang tak rela. Suaminya akan pamit ke tempat pelelangan untuk menjual sabun-sabun buatannya. Memang jalan satu-satunya untuk membuat sabunnya dikenal tentu saja melalui pelelangan.

Sejak dari awal, Lendra memutuskan untuk menjual sabun dengan harga murah di pelelangan. Tentu saja Alera sempat menolak, namun Lendra meyakinkan jika sabun itu pasti akan disukai orang sehingga dengan sangat mudah mereka dapat kembali menjualnya.

Kemarin, mereka juga telah pindah ke sebuah rumah sederhana dipinggiran kota. Harga sewanya selama seminggu terbilang cukup murah ditambah lagi suasana asri dan berdekatan dengan hutan yang memiliki sumber daya makanan yang melimpah menambah nilai plus rumah tersebut.

Untuk Hawi, pria itu telah kembali ke desa karena ia beralasan lebih menyukai suasana di desanya dibandingkan dengan pusat kota. Pria itu juga mengatakan akan kembali ke kota saat Lendra dan Alera ingin kembali ke desa.

"Apa sebaiknya aku ikut saja, Mas?"

Lendra tersenyum lembut seraya menggeleng pelan. "Tidak perlu. Kamu tinggal di sini saja. Nanti, kalau kamu ikut, siapa yang akan menjaga anak kita?"

Ucapan Lendra berhasil membuat Alera merenung sejenak. Benar juga apa yang suaminya itu ucapkan. Jika dia ikut, siapa yang akan menjaga anaknya? Seandainya Enzi ditinggal sendiri, ia tak yakin anak berusia lima tahun itu akan baik-baik saja.

Pada akhirnya, Alera hanya mengangguk. Senyum paksaan sangat kentara di wajah Alera dan Lendra menyadari hal tersebut. Pria yang menginjak usia kepala tiga tersebut menarik sang istri ke dalam pelukannya. Ia mengelus pelan surai milik sang istri seraya berbisik pelan. "Tenang saja. Nantikan suamimu pulang dengan membawa hasil yang memuaskan."

"Baiklah, semoga pemilik alam semesta melancarkan perjalananmu," ucap Alera setelah pelukan mereka terlepas.

Lendra membetulkan kantung yang ada di punggungnya. Setelah itu ia berlalu meninggalkan istrinya seraya melambaikan tangan. "Sampai jumpa, Sayang!"

Alera turut melambaikan tangannya meski tahu Lendra tidak akan dapat melihatnya. "Sampai jumpa..." balasnya lirih.

~o0o~

"Susun strategi penyerangan beberapa hari lagi, saat mereka pulang. Buat anak dan istrinya terluka parah bahkan jika memungkinkan, habisi saja anaknya," ujar seorang pria dengan jubah melekat di pundaknya.

Di sebuah ruangan dengan pencahayaan yang minim, berkumpul orang-orang yang terlihat menyeramkan dengan pakaian serba gelap. Pria yang tadi berujar tampaknya adalah pemimpin dari perkumpulan tersebut. Hal ini dapat dibuktikan dari gerakan santai yang pria itu lakukan.

Ia duduk di sebuah kursi yang lebih besar dari pada milik yang lain dengan kaki kiri diletakkan di atas kaki kanan sedangkan tangannya menopang dagu dengan bertumpu pada pinggiran kursi.

"Laksanakan, Yang Mulia. Kami tidak akan mengecewakanmu."

"Aku menunggu hasil bukan omong kosong. Kalau rencana ini sampai gagal, kalian akan tahu akibatnya." Pria tersebut memancarkan aura yang tidak mengenakan, mata emas miliknya yang bersinar di tengah kegelapan perlahan berubah menjadi berwarna ungu terang.

"Ka-kami mengerti, Yang Mulia."

~o0o~

Langit yang tadinya berwarna biru, telah berganti menjadi warna oranye kekuningan. Tak terasa, waktu begitu cepat berlalu hingga sekarang malam hampir kembali mendekap daerah tersebut.

Seorang pria dengan menenteng sebuah kantung di punggungnya berjalan dengan wajah sumringah. Kakinya terasa sangat ringan ketika memasuki rumah sederhana tempat ia dan keluarganya tinggal.

"Sayang, Mas pulang!" serunya seraya meletakkan kantung yang tadi ia pikul ke atas kursi.

Pria yang tak lain adalah Lendra itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dahinya mengernyit bingung saat menyadari suasana rumah itu sunyi tanpa terusik sedikitpun dengan suara manusia selain suara dirinya sendiri. Perasaan Lendra mulai tidak enak. Bergegas ia mengelilingi rumah mencari istri dan anaknya.

Tetapi, hasilnya tetap nihil. Istri dan anaknya tetap tidak ditemukan. Ia mencoba berpikir positif seraya melanjutkan pencariannya ke luar rumah, barangkali Alera dan Enzi ada di hutan.

Rasa lelah yang sedikit ia rasakan karena harus beraktivitas dari pagi hingga sore tak ia hiraukan. Hingga lama-kelamaan kakinya semakin dalam memasuki hutan. Hari sudah semakin gelap, tetapi Alera dan Enzi masih belum ditemukan. Rasa cemas kian menggerogoti, bahkan jantungnya memompa semakin kencang karena kepanikan yang turut mendera.

"Alera! Enzi! Di mana kalian?!" teriaknya ke sana kemari. Berulang kali ia menggaungkan teriakan yang sama tetapi hasilnya tetap nihil.

Lendra mulai putus asa. Ia mengacak-acak rambut frustrasi. Mata yang awalnya sudah berkaca-kaca, mulai mengalirkan liquid bening.

"Sayang, kalian di mana..." lirihnya.

"Ayah!" Ditengah isak tangisnya Lendra mendengar suara anaknya memanggil membuat Lendra seketika terdiam.

"Enzi? Itu kamu?" balas Lendra berteriak.

"Kami di sini, Ayah. Bantu kami!" Sekali lagi suara itu muncul membuat wajah Lendra yang tadi muram berubah menjadi lebih cerah.

Ia bergegas berlari ke asal suara tempat anaknya memanggil. "Ayah datang, Sayang."

Suaranya berasal dari belakang pohon besar dengan beberapa semak belukar yang mengelilinginya. Lendra berlari, membuka semak-semak itu menggunakan tangannya.

"Ayah!" Sambutan hangat memasuki telinga Lendra, tetapi tampaknya sang empu justru terdiam.

Ia terpaku menatap pemandangan yang tersaji di depannya. Terlihat sebuah danau luas yang terlihat indah disertai dengan langit yang sudah berwarna sangat oranye menghiasinya sehingga warna itu memantul dari jernihnya air danau. Matanya juga dapat melihat seorang perempuan sedang duduk di tepi danau tersebut seraya menoleh ke arahnya dengan senyum lembut.

"Alera?"

TBC.

Farmer's Wife (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang