Chapter 17.

27.9K 2.5K 148
                                    

Roda bulat yang terbuat dari kayu berputar seiring dengan kuda yang berjalan menyusuri jalan-jalan. Beberapa anak kecil terlihat bermain penuh suka cita. Senyum manis terbit di wajah seorang wanita berusia dua puluh tujuh tahun.

Perempuan yang tak lain adalah Alera itu terlihat senang melihat suasana area pusat kota. Tanpa terasa, sehari setelah penyerangan bandit tempo hari, Alera akhirnya berhasil tiba di kota tanpa gangguan yang berarti.

Perempuan itu menoleh ke arah samping, menatap anak dan suaminya yang tertidur nyenyak. Tampaknya kedua laki-laki berbeda generasi itu kelelahan. Jujur saja, Alera pun merasakan hal yang sama, siapa yang tidak lelah dengan perjalanan yang membutuhkan waktu lama, lebih-lebih lagi jalan yang dilewati dipenuhi batu sehingga membuat orang yang berada di dalam kendaraan terguncang-guncang layaknya sebuah disko.

"Paman, segera ke penginapan terdekat, ya? Kita istirahat dulu, sepertinya paman juga sangat lelah," pinta Alera. Memang suaminya telah mengatakan dari semalam--ketika mereka bermalam di perjalanan--untuk segera memesan penginapan.

Pria yang dipanggil paman itu tersenyum tipis. "Baik, Nyonya." Baginya, Alera sosok wanita yang baik. Bahkan semalam, ia sempat merasakan kedinginan karena imun tubuh yang sedikit menurun namun Alera memberinya selimut.

Hal kecil, tetapi sangat membekas.

Mungkin, jika Alera adalah seorang wanita yang belum menikah, ia pasti sudah mendekatinya dan menjadikan istrinya meski umur mereka terpaut jarak sebelas tahun.

Ya, umur pria yang bernama Hawi itu hampir menginjak kepala empat, yaitu tiga puluh delapan tahun. Statusnya masih sendiri. Bukan karena ia jelek atau apa. Sebenarnya, Hawi memiliki paras yang tampan hanya saja ia belum menemukan perempuan yang cocok. Sekalinya tertarik, ia justru tertarik kepada istri orang.

Miris...

~o0o~

Alera tersenyum puas. Hawi sepertinya memang sudah cukup mengenal kawasan kota, terbukti dari cepatnya mereka menemukan sebuah penginapan yang ramah di kantong lengkap dengan pelayanan yang ramah.

Memang tempatnya pas-pasan, karena tempat ini memang dikhususkan untuk para rakyat jelata, atau para petualang yang kekurangan uang dan bekal.

"Ini kuncinya, Nyonya. Semoga betah dengan kamarnya," ucap resepsionis penginapan tersebut.

Alera tersenyum manis. "Terima kasih," ucapnya. Selanjutnya, perempuan itu menoleh ke arah sang suami yang sedang menggendong Enzi. Raut wajah kelelahan terpancar jelas di wajah Lendra begitupun dengan Enzi.

Namun, Enzi masih sempat untuk tertidur di dalam pelukan ayahnya, sedangkan sang ayah sendiri hanya bisa mati-matian menahan kantuk.

Tak tega, akhirnya Alera menggandeng tangan sang suami, membawanya ke kamar yang memiliki nomor sama dengan kunci yang diberikan sang resepsionis. Setelah tiba di kamar yang dituju, Alera segera membuka pintu kamar. Wangi harum pohon jati seketika menguar, masuk ke dalam indra penciuman Alera. Wangi yang menenangkan dan cocok untuk menemani waktu rileks.

"Masuklah, Mas. Istirahatkan tubuhmu," ujar Alera.

Tak membantah, Lendra masuk ke dalam kamar dengan langkah gontai. Perlahan, ia meletakkan anaknya di atas kasur barulah setelah itu ia turut merebahkan tubuh di kasur empuk tersebut.

Alera tersenyum maklum. Sejenak Alera menguap seraya meregangkan ototnya yang terasa kaku. Wangi kayu jati benar-benar membuat dirinya turut mengantuk. Tapi, ia tak ingin segera tidur. Tujuannya sekarang adalah membereskan baju-baju serta dandanan perjalanan yang ia punya terlebih dahulu

Dengan cekatan, Alera membuka lemari kemudian memindahkan pakaian mereka satu persatu. Tampaknya penginapan ini akan ia gunakan selama seminggu ke depan karena sudah merasa cocok dengan penginapan ini.

Setelah semuanya selesai, Alera bernafas lega. Ia kemudian merebahkan tubuhnya di atas kasur, turut menyusul sang suami dan anaknya ke alam mimpi.

~o0o~

"Lapor, Yang Mulia! Dia saat ini sedang beristirahat di sebuah penginapan bersama anak dan istrinya," ujar seseorang dengan baju zirah ditubuhnya. Ia berdiri di depan seorang pria yang ia panggil dengan sebutan 'Yang Mulia'.

Seorang pria bertepuk tangan senang, pria itu tertawa lebar hingga baju serba hitam serta jubah dengan warna senada yang ia kenakan turut bergerak seiring dengan tawanya. Bahkan, orang yang baru saja melapor tersebut sampai menggigil ketakutan. "Pantau mereka terus. Jangan biarkan mereka lolos, jika sampai itu terjadi, kamu akan tahu akibatnya." Ia memberikan titah setelah tawanya mereda.

"Ba-baik, Yang Mulia. Se-serahkan pada saya," ucapnya gagap.

Pria dengan jubah hitam bertengger di bahunya itu mengetuk-ngetuk salah satu sisi kursi kebesaran yang ia tempati. "Kau boleh pergi," usirnya.

"Saya permisi, Yang Mulia," ujar seseorang yang mengenakan baju zirah tersebut. Setelah mengatakan hal itu, ia langsung berlalu dengan langkah lebar meninggalkan tuannya.

Pria itu tersenyum miring, menatap punggung bawahannya yang perlahan menghilang. "Sebentar lagi. Sebentar lagi aku akan mendapatkan semuanya, bahkan seseorang yang juga telah engkau rebut akan menjadi milikku." Ia tersenyum membayangkan wajah seorang wanita yang ia cintai.

Setelahnya ia kembali tertawa mengerikan dengan mata berkilat obsesi.

TBC.

Farmer's Wife (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang