『⑥』- Interogasi

60 32 13
                                    

【✯】

“Aku ini sebenarnya ....” Arsha melangkahkan kakinya mendekati tangga.

“Sebenarnya apa?”

“AKU ADALAH TARZAN!” Arsha meniru pose yang biasa dilakukan Tarzan—posisi jongkok dan mengepalkan kedua tangannya di tanah. Dia semakin mirip dengan gorila.

“Hah?” Aku dan lelaki itu kompak menanggapinya ucapan Arsha.

“Kalian nggak percaya?” Dia mengibaskan rambutnya yang pendek tanpa mengubah posenya. Tangannya menyisir rambutnya. “Apa kalian tidak menyadari bahwa aku ini seorang ikemen?” ucapnya dengan suara yang aneh—suara yang diberat-beratkan.

“Pfft.” Lelaki misterius itu berusaha menahan tawanya dengan cara menutup mulutnya, lalu membalikkan badannya menghadap sudut ruangan.

“Kamu waras?” tanyaku sembari mengernyitkan dahiku, sehingga alisku ikut menurun.

I'm okay, i'm fine.” Arsha mengacungkan ibu jarinya.

“Nggak jelas.”

Arsha bangkit dari pose anehnya itu.
”Berarti ini semua benar-benar nyata?” Arsha menatap punggung lelaki misterius itu yang terus bergetar.

Mendengar perkataan Arsha, sontak tubuh lelaki itu berhenti bergetar. Lelaki itu membalikkan badannya menghadap kami.

“Ya, tentu saja.” jawab lelaki itu dengan singkat.

“Ini bukan di dunia lain, kan?”

Lelaki itu membisu, ia tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan Arsha.

“Tolong jawab pertanyaanku,” ucap Arsha dengan tegas. Ternyata bocah itu bisa mode serius, ya.

“Aku juga tidak tau kita ada di mana sekarang. Aku pikir, kalian tau sesuatu tentang gedung ini.” Lelaki itu memejamkan matanya.

“Setidaknya kamu tau gedung ini, kan?” tanyaku.

“Ya.” Lelaki itu membuka matanya lalu melirik tajam menatapku. Tatapannya terasa dingin.

“Kamu tau pintu keluarnya?”

Lelaki itu menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tau. Kalau tau, aku pasti tidak berada di depan kalian sekarang.”

Yang benar saja? Gedung ini tidak memiliki pintu keluar?

“Argh!” Arsha menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan cepat—sehingga dapat meninggalkan bekas luka pada kepalanya. Muncul kerutan pada dahinya yang halus, tangan kanannya terus memijat dahinya dengan kasar.

Berkali-kali bocah itu melontarkan kalimat kasar untuk meluapkan amarahnya. Sembari menggertakan giginya, mulutnya terus-terusan berkata, “Kenapa malah kek gini?” Ia mengeluarkan amarahnya dengan nada yang tinggi sehingga kami—aku dan lelaki misterius itu—dapat mendengar keluh kesahnya.

Aku terkejut melihat reaksinya. Anak ini mengeluarkan uneg-unegnya di depan kami. Bahkan, dia menggunakan kata yang tidak pantas untuk didengar oleh telinga siapapun. Namun, baguslah ... setidaknya dia tidak menyembunyikan perasaannya dan berpura-pura baik-baik saja.

Gedung PutihWhere stories live. Discover now