『②』- Bergetar

132 51 23
                                    

【✯】

Tubuhku mematung di depan sebuah pintu kayu. Tertera nomor 224 pada pintu itu. Terdapat vas berisi beberapa tangkaian bunga dandelion.

Tanganku bergetar. Diriku berusaha memberanikan diri untuk membuka pintu itu.

Kiik.

Pintu itu terbuka sebelum aku menyentuhnya. Aku langsung mundur selangkah dari posisi awal.

Ruangan itu hening, tidak ada suara apa pun. Aku melangkahkan kakiku masuk. Mataku melihat sekitar untuk memastikan. Kosong, tidak ada siapapun.

Di ruangan itu hanya ada sebuah lemari kayu dengan dua pintu di sudut ruangan, dan juga sebuah pintu kayu—mungkin itu pintu kamar mandi.

DOR!

Tanpa adanya tanda-tanda, terdengar suara keras dari jarak yang sangat dekat. Saking kerasnya, telingaku sampai berdengung. Aku lantas terkejut.

Menutup kedua mataku dan juga kedua telingaku menggunakan telapak tanganku yang dingin. Selang beberapa detik, perlahan aku membuka mataku dan menurunkan tanganku.

Di depanku berdiri seorang bocah laki-laki. Jika dilihat dari wajahnya, mungkin dia berusia sekitar 13 tahun, namun tinggi tubuhnya mencapai 180 centimeter. Pertumbuhan anak zaman sekarang ngeri, ya.

Ia mengenakan kemeja putih dengan celana abu-abu—persis seperti seragam SMA, namun yang membuatnya berbeda, tidak ada bordiran lambang OSIS pada saku kemejanya. Apakah dia tidak kedinginan dengan pakaian seperti itu?

Matanya yang sipit dan pipinya yang putih nan lembut membuatnya terlihat imut seperti anak kecil. Rambutnya acak-acakan tak beraturan.

Sepertinya, dia tidak merawat penampilannya dengan baik. Padahal, wajahnya cukup tampan untuk remaja seusianya. Meskipun begitu, aku yakin dia populer di antara kaum hawa karena ketampanannya, dan juga kaum adam karena dia sepertinya seorang atlet jika melihat tubuhnya yang ramping.

Aku melirik tangan kanannya yang sedang memegang balon yang kempes.

“Maaf. Kamu kaget, ya?” Suara yang terdengar lembut keluar dari mulut bocah laki-laki itu, ia menggaruk rambutnya yang berantakan.

“Menurutmu?” balasku dengan muka masam. Siapa yang tidak kaget saat mendengar letusan balon secara tiba-tiba?

Bocah itu terkekeh menanggapi ucapanku.

“Tadi di sini ada cewek-kah?” Benar, tujuanku disini untuk mencari seorang wanita yang berteriak tadi. Bukan bocah menyebalkan ini.

Sepertinya wanita yang berteriak tadi telah pergi karena hanya ada bocah laki-laki ini di sini.

Bocah itu menggelengkan kepalanya. “Nggak. Dari tadi cuma ada aku yang di sini,” jawabnya. “Memangnya kenapa?”

Aku bergumam, “Padahal tadi aku dengar suara cewek teriak.”

Wajah bocah laki-laki itu merah merona seperti tomat yang telah matang. Matanya yang sipit terbelalak sebesar kelereng. Salah satu tangannya berusaha menutup wajahnya. Tubuhnya berputar membelakangiku.

“Ada apa?” tanyaku kebingungan melihat reaksinya.

“Ng-nggak apa-apa,” ucap nya tanpa membalikkan tubuhnya.

“Jangan-jangan ... kamu yang teriak tadi, ya?” sindirku, aku menggodanya sembari tertawa pelan.

“Mana ada!” pungkasnya dengan nada tinggi sembari membalikkan tubuhnya menghadap padaku.

Terlukis ekspresi cemburut pada wajah bulatnya itu, mulutnya sedikit monyong dan pipinya yang menggembung seperti balon.

Aku berusaha menahan tawaku, reaksinya seperti anak kecil yang tidak dibelikan mainan oleh orang tuanya. Sepertinya, dia yang berteriak layaknya perempuan barusan. Ruangan ini kosong. Siapa lagi yang berteriak kalau bukan dia?

Gedung PutihWhere stories live. Discover now