Chapter 12.

36.2K 3.2K 61
                                    

"Mas," panggil Alera.

"Kenapa? Kamu lelah? Kalau lelah biar aku saja yang mengerjakan ini, kamu ke pondok saja," jawab Lendra cepat.

Bukan tanpa Alasan Lendra berucap seperti itu. Saat ini, satu keluarga itu sedang berada di ladang guna membantu sang kepala keluarga untuk mencari nafkah. Biasanya, Alera sama sekali tidak mau untuk pergi ke ladang, bahkan menginjakkan kakinya di tempat yang dipenuhi dengan sayuran ini saja, ia enggan.

"Bukan, itu, aku mau minta tolong."

"Kamu mau apa? Kalau aku bisa, pasti aku bantu,"

"Em itu... Kamu bisa mengajarkan aku untuk mengendalikan elemen? Aku ingin menguasai sihir," cicit Alera.

"Belajar elemen?" tanya Lendra memastikan.

Alera mengangguk cepat. "Iya! Bisa 'kan?"

Helaan napas meluncur dari bibir Lendra. Ia ingin menolak, tapi melihat binar kemauan yang dipancarkan sang istri membuat Lendra tak memiliki kuasa untuk menolak. Alhasil ia mengangguk pelan. "Bisa."

"Yey, terima kasih, Mas," ujar Alera senang. Bahkan tanpa sadar, ia telah memeluk tubuh kekar sang suami.

Lendra mengangguk kaku. Bagaimana pun, kontak fisik semacam ini sangat jarang mereka lakukan. Jantungnya berdetak cepat karena jatuh cinta. Wanita yang ia cintai... Memeluknya.

Bolehkan Lendra berteriak bahagia?

"Ayah, Ibu. Nanti saja pelukannya, aku sudah lapar," jerit Enzi membuat pasangan suami istri itu tersadar. Alera melepas pelukan tersebut tanpa merasa canggung sama sekali. Sedangkan Lendra justru berwajah muram karena ini sudah yang ketiga kalinya anak semata wayangnya itu mengacaukan kegiatan romantis bersama sang istri.

"Astaga. Enzi sudah lapar? Ayo kita makan dulu." Memang, jam makan siang sudah lewat beberapa menit, tentunya perut yang baru diisi pada dini hari sudah meminta untuk diberikan makanan kembali. "Mas, ayo kita makan," lanjut Alera mengajak sang suami.

"Harusnya tidak usah makan. Biar dia menangis karena kelaparan," gumam Lendra.

"Apa, Mas? Kamu mengatakan sesuatu?" tanya Alera ketika mendengar gumaman sang suami yang tidak terdengar jelas.

"Tidak, aku hanya bergumam kalau aku juga sudah lapar," balas Lendra berbohong.

"Makanya, ayo ke pondok."

Alera berjalan terlebih dahulu, diikuti oleh Lendra. Di pondok, Enzi sudah duduk terlebih dahulu, ia tampak menatap penuh minat ke arah kantung yang berisi makanan-makanan buatan sang ibu.

Melihat hal tersebut, Alera terkekeh gemas. Ia mengambil wadah kemudian memindahkan makanan itu ke masing-masing tempat. Akhirnya, keluarga itu melaksanakan makan siang di alam terbuka dengan berteduh di bawah pondok yang di zaman modern lebih mirip seperti pos ronda.

Rasa kesal yang tadi menggerogoti hati Lendra perlahan berganti dengan rasa hangat. Ia senang dapat merasakan indahnya keluarga kecil sederhana namun hangat dengan canda-tawa yang menemani. Rasa syukur tentu saja terucap dari bibirnya karena perubahan sang istri juga turut mengubah sang anak yang semula selalu murung menjadi sering tersenyum bahkan tertawa.

~o0o~

Alera menenteng keranjang berisi sayuran segar. Sesekali keringat menetes di dahinya dan tentu saja segera ia seka. Tak terasa dari pagi ia berkerja membantu sang suami menanam bibit tanaman serta memanen sayur-sayuran yang siap panen.

Sekarang, langit yang semula berwarna biru telah berganti menjadi warna kekuning-kuningan pertanda jika sebentar lagi matahari akan terbenam.

"Sayang, Ayo pulang. Mas rasa hari ini sudah cukup," ujar Lendra membuat Alera menghentikan aktivitasnya seraya menoleh ke arah sang suami.

Senyum cerah terbit di wajah cantik itu membuat Lendra mengernyit bingung. "Kenapa?"

"Mas tadi mengatakan apa?" tanya Alera tanpa melunturkan senyum.

"Ayo pulang?"

"Bukan, tapi panggilan untuk diri Mas sendiri," ujar Alera.

"Ya, aku menggunakan 'Mas', memangnya kenapa? Tidak enak didengar? Kamu ingin menggantinya dengan 'aku', 'kamu' lagi?"

"Tidak, jangan! Seperti tadi saja itu lebih baik."

"Baiklah. Ayo kita pulang," ulang Lendra.

Alera mengangguk, ia menoleh ke arah sang anak yang sedang bermain-main dengan seekor belalang. "Enzi, Sayang. Ayo kita pulang."

"Iya ibu." Terlihat Enzi membuang belalang yang ia pegang kemudian berlari menuju sang ibu.

"Hati-hati sayang," ujar Alera mengingatkan. Setelah mengucapkan itu, Alera berjalan menuju Lendra diikuti oleh Enzi di belakangnya. Mereka berjalan meninggalkan ladang dengan berdampingan. Di sisi kiri ada Lendra yang berjalan seraya menenteng kantong berisi sayuran, sedangkan di sisi kanan ada Alera yang membawa keranjang dengan isi serupa.

Enzi sendiri hanya berjalan dengan tangan membawa sebuah batang kayu kecil sebagai mainan. Meski begitu, langkah kecilnya masih kalah dari kedua orang tuanya yang tak ayal membuat Enzi mengeluh sebal karena kedua orang tuanya berjalan terlalu cepat.

TBC.

InsyaAllah nanti double Up.

Farmer's Wife (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang