S2 - PROLOG

1.2K 126 16
                                    

S2 - PROLOG

"Kenapa, sih, Papa lebih bela anak haram kaya lo dari pada anak sahnya sendiri?"

Ucapan itu lagi-lagi menggema dalam mimpi. Dahinya mengernyit tanda tak nyaman dengan yang ia alami di alam bawah sadarnya. Sekelebat adegan mengerikan secara bergantian muncul di pikirannya seperti sebuah tayangan film yang memiliki transisi secara terus-menerus dan berputar sangat cepat.

"Lo itu cuma anak haram! Tapi lo diperlakukan sama Papa kaya anak raja. Lo itu gak ada hak sama sekali di rumah kita! Lo lahir secara gak sah!"

Keringat dingin mengucur di seluruh tubuh, sampai-sampai bantalnya juga basah karena keringat yang mengalir dari kening.

Kenangan buruk itu lagi-lagi datang di kala ia tidur, bagaikan karma yang datang tanpa ada habisnya, dan membuat kerongkongan serasa tercekik. Berusaha sadar ke alam nyata, namun karma seperti mengikatnya agar ia melihat perbuatan keji kepada sesosok anak yang lahir karena perbuatan hina.

"Dasar pembawa sial!"

"A-ampun, Bang..."

"Rasa sakit ini belum seberapa sama rasa sakit yang kita berdua alami! Dasar anak pelacur!"

"Maafin Jean, Bang..."

Kepala sudah menggeleng beberapa kali, namun bayangan masa lalu yang hadir di alam mimpi tak kunjung menghilang. Mata nan terpejam itu pun tak kunjung terbuka. Deru napas berpacu dengan detak jantung dan detik waktu yang terus bergerak. Jika ada yang melihatnya, mungkin orang-orang akan panik dan berusaha untuk menyelamatkan anak itu.

"Apa? Sakit? Ini belum seberapa sama rasa sakit yang gue dan Joe rasakan selama ini!"

"Udah, Bang. Sakit..."

"Gak ada kata maaf untuk anak pelacur kaya lo! Lo udah ngehancurin keluarga gue dan Joe!"

"Rasain tuh anak haram!"

Ugh...

Ia terbangun dalam keadaan mata yang terbelalak. Keringat mengucur di seluruh tubuhnya, bahkan singlet hitam yang ia kenakan juga basah terkena keringatnya. Jantung pun berdetak tak normal.

Ia atur napasnya yang terengah-engah untuk sejenak. Kemudian bangkit dari posisi tidurnya untuk mengambil segelas air yang selalu tersedia di samping tempat tidur. Segelas air itu pun ia tegak secara tak sabaran hingga tandas dan kerongkongannya pun terasa segar. Gelas kosong ia letakkan kembali ke atas nakas, kemudian kembali melamun untuk beberapa detik.

"Mimpi lagi, Joe?"

Sebuah suara tenang di pojok sana menarik atensinya. Ia melirik ke arah kegelapan, tampak seseorang yang jangkung tengah duduk di atas sofa, namun tidak ada penerangan di bagian sana.

"Iya," jawab si laki-laki yang mengalami mimpi tadi. "Lo gak bisa tidur lagi, Na?" lanjutnya.

"Seperti biasa."

Situasi kembali hening setelah percakapan singkat itu.

Nada suara mereka tidak terdengar hidup lagi. Sudah mati, tetapi dipaksa untuk bertahan.

Joe yang mengalami mimpi tadi, menyenderkan punggungnya ke sandaran tempat tidur. Di bawah temaram cahaya lampu tidur ajahnya, Joe kembali melamun. Pikirannya pergi kemana-mana sekarang. Tatapan mata yang dulu penuh gairah, kini menyisakan tatapan kosong, sekosong ruang hampa tanpa pemilik.

Sementara Na, yang duduk di bawah kegelapan tanpa ada penerangan sedikitpun, juga sama menyedihkannya seperti Joe. Hanya saja, tak ada yang bisa melihat wajah hampa itu di bawah kegelapan yang menyelimuti.

Jean: Selamat Tidur Jean (S1, end) & Pulanglah Jean (S2, on going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang