VLWY - Part 01

104 10 6
                                    


Happy reading! :*

---

"Kamu gak ada cita-cita pulang, Mbak?"

Suara seseorang di seberang sana mengalun lembut, mengiringi kegiatan memasaknya di akhir pekan.

Sang gadis menjawab pertanyaan lawan bicaranya sambil lalu. "Minggu lalu, kan, Runa udah pulang, Ma."

Meski teredam saura minyak panas yang tengah mematangkan ayam, Aruna masih bisa mendengar helaan napas sang mama. Gadis itu hanya tersenyum tipis.

Perempuan berkulit kuning langsat itu mencoba mencairkan suasana yang menurutnya terasa sedikit melow karena helaan napas Ranu—Mama Runa.

"Masa udah kangen aja, sih, Bu Ranu? Mentang-mentang anak ceweknya cuma satu, mana cantik banget gini. Duh! Susahnya kalo jadi anak yang ngangenin, tuh!" ucap Runa narsis diakhiri kekehan renyahnya.

Berhasil. Terdengar kekehan sang mama tepat saat Runa mengangkat ayamnya dan mematikan kompor.

Belum sempat Ranu menjawab, Aruna sudah lebih dulu berkata, "Lagian selama 5 tahunan di Singapur, gak pernah, tuh, Mama minta Runa pulang."

Aruna berkata demikian bukan karena jengkel sebab tidak pernah disuruh pulang. Gadis itu hanya heran, mengapa sang mama tiba-tiba memintanya untuk pulang, padahal selama ini mau ke mana pun Aruna mengeksplor diri, Mamanya tidak pernah mengeluh.

"Justru itu, Mbak. Kamu itu udah kelamaan berkelana sampe lupa kalo punya rumah!"

Runa mencibik komentar sang Mama. "Lupa dari mananya, Ma? Runa rutin pulang loh, Ma. Paling nggak, kan, sebulan sekali."

"Halah. Sebulan sekali itu kalo inget. Kalo Mama gak telpon kamu duluan juga kayaknya gak ada, tuh, inisiatif kamu buat telpon Mama duluan. Punya anak cewek satu aja, kok, gini amat."

Buset! Mamanya ini emang something banget kalau urusan nge-roasting anak.

Ya, tapi benar juga, sih. Gadis bernama lengkap Dayahu Aruna Gantari ini memang jarang menelepon orang di rumah.

Bukannya tidak sempat, tapi Aruna merasa tidak ada yang spesial dari kegiatannya yang perlu dikabarkan kepada orang rumah, tapi ternyata orang rumah, terutama sang mama, tidak menganggap demikian. Ternyata Mamanya di rumah sedang menunggu telepon darinya meski sekadar menyapa saja.

Duh! Aruna kok jadi merasa bersalah gini, ya?

Pelajaran yang Aruna ambil hari ini; sesuatu yang mungkin kita anggap remahan, ternyata bisa jadi dianggap rengginangnya oleh orang lain.

Aruna meringis. "Kan di rumah masih ada abang sama adek, Ma. Cuma Runa yang gak ada di rumah."

Lagi-lagi Aruna mendengar Ranu menghela napas. Runa jadi curiga kalau mamanya punya hobi baru; menghela napas.

"Abang sama adekmu mau pergi juga. Mereka dipanggil pelatnas buat SEA Games."

Aruna yang sedang menata makanan di meja makan menghentikan kegiatannya agar bisa lebih fokus pada percakapan.

"Adek dipanggil pelatnas, Ma?" tanya Aruna sangsi. Mungkinkah Aruna salah dengar?

"Hmm," jawab sang mama tidak bersemangat.

Jadi benar? Isha? Dipanggil pelatnas? Membela Indonesia buat SEA Games?

"Yang bener, Ma? Kok Isha gak ngabarin Runa, sih? Adek duraka banget!"

Aruna, kok, merasa agak kesal, ya, karena menjadi orang terakhir yang tahu berita membahagiakan ini.

Yaaa meski hubungan Aruna dan Isha itu seperti Tom and Jerry, tapi percayalah, Aruna sangat menyayangi adik laki-lakinya. Lagian yang sering usil itu si Isha, kok, bukan Aruna.

Volley-ing in Love with YouWhere stories live. Discover now